Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 bisa dibilang salah satu rute terberat yang harus dilewati di jalur Cemoro Sewu ini. Dengan jalur tangga batu berundak yang kadang setinggi paha orang dewasa membuat saya yang bertubuh ukuran asia dan menggendong tas ransel ini bagai kura kura memanjat pohon kelapa saja rasanya.

Rute yang dilewati juga amat sangat monoton sekali, nanjak ke kiri atas, ketemu belokan, nanjak ke kanan atas dan ketemu belokan lagi nanjak ke kiri atas, begitu seterusnya, dan rasanya ndak ada habis-habisnya. Saya jadi teringat puluhan tahun lalu waktu pertama kali ikut perjalanan pendakian gunung Lawu pada acara pendakian masal anak-anak sma 4 Solo dulu. Saya sempat menanyakan ke senior yang mengawal kami “mas, pos 4 masih jauh kah?” kata saya yang saat itu ngap-ngapan pertama kali melewati jalur cemoro sewu ini. dan dijawab dengan enteng “Tinggal dikit lagi kok, cuma tinggal dua belokan lagi” balasnya menyenangkan hati kami para junior “Belok kiri dan belok kanan” tambahnya lagi… wkwkwkwkw

Saya cuma bisa meruntuki kemalasan saya yang tidak terlalu banyak melakukan persiapan fisik sebelum pendakian. Kalau jauh jauh hari ada rencana naik gunung sih biasanya latihan fisik ringan seperti jogging atau sekedar naek turun kursi kecil di rumah. Tapi kemarin juga Marsono agak mendadak memberi kabar keberangkatan ke gunung ini. Jadi ya dinikmati saja perjalanan yang terasa berat ini sebagai sebuah pengendalian diri dan melatih mental… batinku menenangkan kaki yang mulai rewel menapaki tangga batu ini.

Saya juga kagum dengan semangat rombongan dari Kediri yang kami jumpai dari semenjak pos 2 ini. Mereka terbagi menjadi dua rombongan. Yang masih muda berjalanan dengan langkah langkah cepat dan kadang berlari menyusuri jalur berundak ini. Kedebak kedebuk kedebak kedebuk beberapa orang ini seperti kijang berlari ke atas.. walau setelah itu saya lihat mereka ngos-ngosan juga bersandar di batang pohon menunggu rombongan di bawah mereka. Yang sudah berumur berjalan lebih pelan sesekali berhenti di pinggir jalan menunggu mas gunawan yang berjalan dibantu rekannya menyusuri tangga demi tangga dengan berhati-hati. Saya berguman dalam hati, mas gunawan saja yang kurang sempurna bisa menikmati perjalanan ini kok saya yang diberi pandangan untuk melihat keindahan alam masih kurang bisa menikmati perjalanan.. akhirnya saya pun tidak terlalu ngoyo berjalan cepat menuju pos empat. Kalau dirasa ada tempat cukup datar buat menaruh pantat dan ransel dengan pemandangan yang indah saya akan sempatkan berhenti, sekedar mengatur nafas dan mensyukuri keindahan alam dan indahnya cuaca hari ini.

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu

“Sudah menunggu lama ?” ucapku berbasa basi kepada Marsono dan Kodok yang sudah duduk duduk mengapit tangan ke bahu, tanda mereka sudah mulai kedinginan dengan cuaca pegunungan karena menunggu lama berdiam diri di pos 4 hehehe. Marsono sudah tahu gaya berjalan saya ketika naik gunung karena sudah beberapa kali kami mendaki gunung bersama, jadi sudah tahu karakteristik masing-masing. Marsono dengan kaki panjang dan badan kuat nya selalu berjalan di depan dengan tempo cepat, dan kemudian akan menunggu saya di tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat. Saya dengan kaki normal asia (halah) berjalan paling belakang dengan motto alon alon waton klakon (pelan-pelan yang penting tercapai). Ritual panorama 360 kembali digelar di pos 4 ini. Keluarkan kamera, pano head dan tripod dari ransel, atur setingan exposure, pasang pano head, dan memotret memutar. Seepp.

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu

Dari pos 4 menuju pos 5 nanti jalur masih akan menanjak melewati satu bukit dan kemudian mulai datar hingga sampai ke pos 5. Ekosistem sudah mulai berubah dari dibawah pos 4 yang berupa pohon pohon tinggi dan rindang menjadi lahan terbuka dengan perdu khas tumbuhan dataran tinggi. Kami beruntung kabut turun jadi tidak terlalu berasa teriknya mentari tengah hari ketika melewati jalur ini.

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu

Sebelum sampai di pos 5 agak terkejut dengan deretan bangunan selepas sumur Jalatunda.. eh sejak kapan ada banyak bangunan di Lawu ini? Terahkir kali naik ke gunung Lawu jalur Cemoro Sewu memang sebelum tahun 2000 sih jadi wajar ada banyak perubahan selama kurun waktu 16 tahun ini. Ternyata ini merupakan pos 5, yang mempunyai tanah lapang dan banyak bangunan yang merupakan warung ketika musim pendakian ataupun ketika ramai para peziarah yang datang ke gunung Lawu. Rutinintas panorama kembali digelar di sini sementara Kodok tampak menyisir beberapa pohon arbei yang sedang berbuah. Terkumpul puluhan buah arbei merah yang kami nikmati sembari merehatkan badan dan ngobrol ringan di pos 5. Rasanya agak asam tapi cukup segar.

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu

Dari pos 5 menuju ke pos berikutnya, Sendang Drajat, jalur melewati pungungan bukit jadi sudah tidak seberat pos 4 tadi. Target kami ke Sendang Drajat untuk menambah perbekalan air buat di puncak dan perjalanan turun, dan mudah-mudahan warung makan nya masih belum tutup. Karena di perjalanan tadi bertemu beberapa rombongan yang mengatakan warung di sendang drajat masih buka, tapi sudah tidak ada apa-apa tinggal mie rebus dan teh tubruk saja.

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu

Tidak begitu lama perjalanan menuju ke Sendang Drajat, mungkin kalau cuaca cerah bisa melihat pemandangan indah dari jalur ini karena terbuka. Tapi ketika kami melewatinya, kabut tebal menutupi pemandangan sehingga kami hanya bisa melihat padang rumput dan beberapa bukit yang tidak terlalu jauh dari jalur yang kami lewati. Tapi untungnya kami tidak terpapar teriknya mentari jadi bisa menghemat keringat yang keluar 😀

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu

“Pak, teseh wonten nopo?” (pak yang ada tinggal apa saja?) tanyaku ke pak Panut (saya agak lupa tapi kayaknya namanya pak Panut.. minta tolong dikoreksi ya) ketika meletakan tas ransel ke depan warung di Sendang Drajat. “wah gari pop mie kaleh teh tubruk mawon mas” (wah hanya ada pop mie dan teh tubruk saja mas) balasnya. “Njih mboten nopo nopo pak, pesen tigo nggih” (ya tidak apa-apa pak, pesan tiga ya pak) pesanku sembari mulai mengeluarkan power bank untuk mengecash kamera 360 yang sepanjang perjalanan tadi saya gunakan untuk membuat vlog 360. “niki wonten sekul tapi mpon adem, nopo badhe ngagem sekul mboten mas?” tanya pak Panut memberi informasi bahwa masih ada nasi sisa yang sudah dingin apakah mau. “njih pak” balas kami bertiga kompak menandakan bahwa kami sudah kelaparan hahahaha

Sendang Drajat juga seingatku sudah berubah cukup banyak. Sekarang di sini sudah didirikan bangunan semacam pendopo mungkin untuk yang ingin bertirakat. Selain tentunya warung yang cukup besar dengan ruangan dibelakang yang bisa digunakan untuk beristirahat para pendaki ketika malam tiba. Terdapat juga kamar mandi terbuka, yang mungkin digunakan untuk yang ingin mandi setelah melakukan semedi, mungkin lho ya.. ini cuma perkiraan saya sendiri sih 😀

Kami menanyakan rute menuju puncak setelah dari Sendang Drajat ke pak Panut, karena rute kami dari puncak besok akan turun dari jalur Cemoro Kandang. Menurut pak Panut, kalau dari Sendang Drajat ingin langsung ke puncak tidak perlu harus lewat Hargo Dalem karena akan memutar cukup jauh. Tinggal langsung ambil jalur menanjak ke puncak saja, dan nanti turun ambil jalur sebaliknya yang ke arah pos 5 Cemoro Kandang, tidak perlu lewat Hargo Dalem juga. Akhirnya kami putuskan mengambil rute itu saja.. soalnya juga di Hargo Dalem kan warung mbok Yem ndak buka. Rencana awal kami sampai ke puncak, dokumentasi panorama 360 di puncak, tunggu sunset dan kalau cuaca cerah milky way dan kemudian dilanjutkan turun ke Cokro Suryo untuk bermalam di sana.

<bersambung>