Seperti biasa, berawal dari sekedar obrolan ngalor-ngidul yang berakhir dengan terlontarnya ide untuk mendaki Gunung Merbabu. Kebetulan, saya sendiri sudah lama memendam rindu ingin bertemu dengan sang Ibu (Gunung Merbabu). Bersama dengan 3 orang adik kelas, perjalanan pun dimulai semenjak meninggalkan Jogja pada jam 20:30 WIB, tanggal 21 Agustus 2012. Tanpa terasa, ternyata 3 jam perjalanan darat telah terlalui ketika kami tiba di basecamp pendakian jalur Wekas pada pukul 23:30 WIB. Namun, karena tak ingin membuang waktu terlalu lama, kami putuskan melakukan pendakian di malam itu juga. Namun malang, ditengah perjalanan salah seorang teman mengalami kram di kaki kanannya. Akhirnya dengan setengah terpaksa, kami pun memutuskan untuk istirahat dan membuat bivak.

Hari masih sangat pagi dan jam baru menunjukkan pukul 06:30 WIB ketika kami mulai kembali meneruskan pendakian menelusuri lereng Merbabu. Setelah 1,5 jam perjalanan menembus hutan dan jalan setapak sedikit menanjak, langkah kaki pun berhenti ketika tiba di titik tujuan kami. Leyeh-leyeh sejenak menjadi pilihan melewatkan waktu di hamparan tanah lapang pos 2 lereng Merbabu.

Meski masih sedikit malas, kami mulai membangun tenda yang sepertinya jauh lebih tepat disebut Bivak karena kami memang tidak membawa tenda dome dalam perjalanan ini. Usai mendirikan bivak dan menghabiskan makan siang dalam pelukan sang Ibu, perlahan saya mulai langkahkan kaki mencari buah berry hutan di sekitar camp sederhana kami yang banyak ditumbuhi perdu liar. Beruntung, ternyata cukup banyak yang tengah berbuah, dari yang berwarna ungu, merah cerah, hingga orange.

Merbabu Joan

Tak terasa matahari telah di ujung kepala, memancarkan sinarnya yang semakin terik membakar. Namun, tidak ada yang tak berguna di alam ini, panas surai sang mentari pun kami manfaatkan untuk memanggang beberapa baju dan sleepingbag agar sedikit hangat ketika dipakai nanti malam.

Merbabu 8

Waktu terus bergulir, perlahan menarik selimut senja di hamparan pos 2. Puncak-puncak Gunung Sumbing, Sindoro dan Ungaran tegak menembus hamparan awan berarak, bagai pilar-pilar penyangga berlatar langit biru memerah terbakar surai sang mentari. Seketika keindahan sunset menyita perhatian siapapun, termasuk beberapa pendaki lain disekitar kami. Beberapa tampak diam terbius pesona senja, sementara beberapa mulai sibuk dengan kameranya masing-masing berusaha membekukan paras alam dalam frame-frame foto.

Merbabu 2

Ketika matahari telah benar-benar menghilang di ufuk barat dan meninggalkan lereng Merbabu dalam kegelapan malam, memasak makan malam dan membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh menjadi kesibukan kami selanjutnya. Sepertinya sang Ibu masih belum jenuh memperlihatkan keindahannya kepada saya. Sekitar pukul 22:00 WIB, langit terlihat cerah bertabur bintang di gugusan Galaksi Bimasakti tanpa ternodai awan setitikpun. Tentu saja pemandangan itu menggeliatkan keinginan dalam diri untuk merekamnya dalam memory card di kamera. Dari merekam keindahan gugusan galaksi Bimasakti hingga merekam startrail dari pos 2 yang semakin dingin.

Merbabu 3

Merbabu 4

Lewat tengah malam, mata tertumbuk pada tenda dome berwarna merah milik 2 pendaki lain yang berada tak jauh dari camp kami. Seketika ide memotret pun muncul lagi, dengan ijinnya akhirnya saya boleh memotret tenda mereka.

Merbabu 6

Merbabu 7

Pagi berikutnya kami bangun lebih awal untuk memasak sarapan karena perut sudah keroncongan. Tak banyak yang kami lakukan hari ini. Selain hanya bermalas-malasan di pelukan sang Ibu, setelah makan siang selesai kami mulai menyicil membersihkan alat-alat dan packing untuk pulang. Akhirnya, ketika hari mulai beranjak sore, kami mulai turun kembali ke basecamp pada pukul 17:00. Mumpung cahaya masih bagus, kami pun mengabadikan personil camping ceria untuk sowan  ke rumah sang €œIbu€ (Merbabu).

Merbabu 9

(edited by : Wisnu Wisdantio)


joan prahara bumi

Artikel & Foto oleh: Joan Prahara Bumi

Twitter : @joanprahara

http://praharabumi.tumblr.com/

Menetap di Jogja dan masih berstatus kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota pelajar. Pernah bergabung menjadi fotografer di National Geographic Indonesia walau hanya berstatus magang. Selalu siap diajak traveling dan kemping ceria dan tidak pernah kelupaan mengucapkan kata “syahduu” ketika menjumpai hal hal yang menarik untuk  nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *