“Besok bangun jam setengah lima guysss… kita ngejar sunrise, berangkat jam lima” ucap Sylvia sebelum kita mengistirahatkan badan. Tapi seperti kisah dongeng, impian untuk berangkat jam lima pun cuma sekedar mimpi. Eh tapi ndak seratus persen luput sih, karena jam lima lebih empat puluh perahu yang kami tumpangi berlayar dari perahu Lalunia menuju ke dermaga pulau Padar.

Beberapa kapal yang berlabuh di sekitar dermaga pulau Padar sepertinya punya satu tujuan yang sama dengan kami, menikmati matahari terbit dari atas bukit Padar yang dikenal di medsos dengan tiga teluk dan bukit bergerigi runcing sebagai latar belakang pemotretan profil. Jadi ketika kapal kami masih memecah ombak, beberapa lampu senter sudah terlihat di atas.

Cuaca pagi ini masih sedikit tertutup mendung, walau malamnya sempat cerah dan bintang bertaburan di langit. Sepertinya semua yang ada di Padar belum beruntung menikmati bulatan sempurna sang surya naik perlahan dari kaki langit.

Begitu tiba di dermaga, kami segera melangkahkan kaki menapaki tangga demi tangga. “Jalan menuju ke atas sudah enak kok dibanding di pulau Kelor” Dika yang sudah pernah ke Padar membandingkan perjalanan ke bukit Padar dengan yang di Pulau Kelor hari pertama.

“Di sini tidak seterjal di Kelor”. Tapi anak tangga demi anak tangga yang kami lewati, lumayan juga membuat kami ibaratnya bernafas senin kamis. Beberapa langkah kaki dan kami berhenti sembari diselingi ucapan “Selamat pagi guysss” yang mencoba membangkitkan semangat untuk kembali melangkah.

Sebenarnya tidak terlalu jauh sih memang, hanya melewati beberapa bukit. Jalan yang sudah dibikin bertangga ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya jalan tidak licin, sisi negatifnya langkah kaki dirasa lebih berat dan lebih cepat capeknya.

Rere yang sudah dari semenjak di Lalunia menggunakan kostum untuk berfoto di puncak Padar mulai tertinggal di belakang di temani om Tono. Sesekali berhenti sebentar sembari mencoba tersenyum ketika lensa kamera mengarah ke arahnya.

Capek boleh, keliatan capek di kamera itu yang jangan hahahaha.. Kalau kata teman-teman penggemar sepeda gunung yang dulu sering saya foto ketika berkegiatan di alam bebas “capek itu sementara, malu itu selamanya.”

Ada beberapa tempat datar yang bisa digunakan untuk berfoto sembari mengatur nafas untuk melanjutkan perjalanan. Tapi memang disarankan untuk segera menuju ke atas, dan baru nanti turunnya berpose di mana saja.

Di pos dengan pohon yang kedua, sebenanrya sudah terlihat pemadangan teluk dengan latar belakang gunung yang mirip di film jurassic park itu. Jadi kami berhenti dan berpose di sini sembari menunggu yang dari atas turun terlebih dahulu.

Setelah dirasa cukup kami melanjutkan perjalanan yang sudah tinggal summit attack. Ada satu lagi tempat datar yang bagus untuk berpose dengan latar belakang yang mirip cuma dari ketinggian yang berbeda.

Kalau sampai ke atas bukitnya malah kurang dapat latar belakang foto yang menarik karena tertutup punggungan bukit.

Setelah dirasa cukup berpose, kembali kami menuruni anakan tangga demi tangga menuju ke dermaga. Buat beberapa orang kadang perjalanan turun lebih menguras energi karena langkah kaki yang harus berhati-hati dan dengkul yang terasa jadi tulang lunak melaju satu demi satu anak tangga.

Begitu sampai ke Lalunia, gerimis turun sebentar, beruntung kami sudah tiba di tempat yang seperti rumah kami untuk beberapa hari ini. Saatnya setelah ini kita menikmati keindahan bawah lautnya Padar dan sekitarnya. Byurrrr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *