Jalur Darat Wamena - Yalimo

Di aplikasi google maps tercatat jarak Wamena – Yalimo sekitar 200 hingga 250 km. Tapi ketika kita coba mencari arah jalur darat google maps tidak berhasil memberikan petunjuk. Karena mungkin belum terupdate aplikasinya, tapi mungkin juga karena jalur yang digunakan hanya bisa ditempuh bila kita menggunakan mobil 4wd. Alternatif lain bisa menggunakan pesawat tapi dengan jadwal yang lebih tidak pasti, sedangkan kita dikejar timeline yang cukup padat. Sehingga satu satunya yang bisa kita lakukan adalah menggunakan jalur darat Wamena – Yalimo dengan menyewa mobil 4wd.

Alternatif Jalur Darat

Jalur Darat Wamena - Yalimo
ndak ketemu arahnya

Ada beberapa alternatif jalur darat yang bisa kita coba. Pertama menggunakan taksi reguler. Jangan berpikiran taksi itu seperti taksi yang ada di kota kota besar di Jawa ya. Mobil sedan keluaran terbaru begitu. Taksi di sini adalah angkutan reguler seperti travel. Untuk melayani jalur darat Wamena – Yalimo yang digunakan adalah mobil mobil gardan. Toyota Strada berharga ratusan juta banyak kita jumpai lalu lalang dengan plat kuning, penanda merupakan mobil angkutan umum.

Kita bisa menumpang sebagai penumpang umum, harga tiket sekitar 250 ribu untuk posisi di bak belakang, 300-400 ribu untuk posisi kursi di dalam kabin. 4 penumpang berdesekan di kursi kabin belakang biasanya. Untuk yang punya budget lebih bisa menyewa mobilnya dengan harga 2 juta untuk booking kabin, sedangkan bak terbuka masih bisa dipakai untuk mengangkat penumpang atau barang lain. Atau bisa ditebus 3 juta untuk charter full mobil nya.

Karena kami tiba di Wamena hari minggu dan sore itu juga langsung berencana menuju ke Yalimo, alternatifnya cuma dengan charter mobil. Hari minggu tidak ada angkutan umum. Salah satu teman kami di sana memberikan nomer supir mobil yang mau membawa kami sore itu juga.

Meninggalkan Wamena

Jalur Darat Wamena - Yalimo
strada buat angkutan umum
Jalur Darat Wamena - Yalimo
bersiap berangkat

Mendung kelabu memayungi Wamena sore itu. Tas dan barang-barang yang kami bawa sudah berada di bak terbuka di belakang. Ditutup dengan terpal biru supaya nanti kalau di perjalanan hujan tidak basah. Kami berenam. Satu orang duduk di depan, samping supir. Dua orang duduk di kabin, dan 3 orang duduk di bak belakang. Bergantian nanti antara kabin dengan bak belakang kalau di perjalanan pengen berganti posisi.

Sekitar pukul 5 sore mobil strada melaju meninggalkan kota Wamena. Cuaca dingin khas pegunungan menyelimuti sepanjang jalanan yang kami lewati. Kota Wamena sebagian terisi dengan rumah dan toko toko. Terlihat juga aktivitas warga Wamena yang lebih banyak berjalan kaki kadang tanpa alas kaki.

“Beli makan dulu dibungkus nanti di makan di jalan” saran supir mobil ketika kami berhenti sebentar untuk membeli perbekalan. Nanti sampai Yalimo mungkin sekitar pukul sepuluh malam dan sangat jarang masih ada warung yang buka malam di sana.

Jalur Darat Wamena - Yalimo
mencari makan di pasar
Jalur Darat Wamena - Yalimo
yang terguncang di bak belakang

Kamipun memesan makan dengan lauk ayam goreng. 40 ribu satu porsi yang harus kami tebus. Jangan coba bandingkan dengan harga makanan di Sorong atau Jayapura ya, di daerah pegunungan memang semua jadi lebih mahal karena akses bahan bahan yang kadang hanya bisa dikirim menggunakan pesawat. Nanti mungkin kalau jalan raya penghubung daerah daerah pegunungan dengan pesisir sudah bagus, harga bisa lebih stabil.

Keluar Wamena

Selepas suasana kota, kami mulai memasuki batas luar Wamena. Di beberapa tempat kami harus berjalan pelan melewati jembatan yang beberapa masih baru tahap pembangunan ulang. Terkadang mobil kami menyeberangi sungai langsung. Tidak terlalu dalam, tapi pasti akan merepotkan kalau menggunakan mobil sedan.

Jalur Darat Wamena - Yalimo
rumah dan bukit

Deretan pegunungan menyapa di kanan kami, tebing tebing berjajar bagai tembok seakan melindungi kawasan yang dikenal karena festival lembah baliem yang baru bulan kemarin dilaksanakan. Saya bernostalgia dengan perjalanan beberapa tahun silam ke Nepal yang beberapa tempat mempunyai bentangan alam yang hampir mirip dengan Wamena.

Jalur Darat Wamena - Yalimo
bukit & sabana
Jalur Darat Wamena - Yalimo
tebing menjulang di perjalanan

Di salah satu titik, ketika pandangan mengarah ke jalan yang tadi kami lewati. Jalan mengular terlihat menjauh, diapit dua punggungan bukit karang. Dan kami berada di ketinggian sehingga di bawah sana terlihat kecil dan jauh. Nanti perjalanan kembali ke Wamena harus berangkat siang supaya lebih bisa menikmati pemandangan nih.

Honai

Punggungan gunung bersapa dengan pohon pohon rindang yang menaungi, bukit bukit padang rumpun, kawasan tebing karst semua bergerak cepat secepat mobil yang melaju di jalan yang sepi. Semakin menjauhi Wamena semakin sering kami jumpai beberapa rumah adat yang biasa disebut honai.

Jalur Darat Wamena - Yalimo
honai

Honai merupakan rumah tadisional suku pegunungan, dengan tembok disusun dari kayu dan beratap rumbai ilalang atau jerami.  Biasanya tanpa jendela untuk melawan hawa dingin pegunungan.

Jalur Darat Wamena - Yalimo
melintas
Jalur Darat Wamena - Yalimo
honai di pinggir jalan

“turis turis bule kadang lebih suka tinggal di honai bersama masyarakat” ucap supir kelahiran Makassar yang sudah cukup lama tinggal di Wamena. “Masyarakat Wamena itu baik, kalau kita baik ke mereka, mereka akan lebih baik lagi ke kita. imbuhnya lagi..

Tapi memang terkadang masih sering terjadi pertikaian yang merembet menjadi perang suku. “Bakar batu biasanya jadi solusi penengah ketika perang suku terjadi”. Hayalan saya melayang, membayangkan perang suku yang pastinya akan banyak membawa korban. Ah semoga semua nanti bisa berdamai dan bersama sama membangun peradaban.

Gelap Tiba

Gelap tiba, rintik hujan juga mulai turun. Dari HT yang kami gunakan untuk berkomunikasi dengan teman-teman di bak belakang, mereka aman, bersembunyi di balik terpal. Tapi ya pastinya terguncang-guncang karena jalan beraspal sudah mulai berganti dengan jalan tanah merah yang dikeraskan.

Beberapa kali saya sempat tertidur dan terbangun karena kepala terantuk dengan sesuatu. Dari jendela cuma ada kegelapan yang kami temui. Tidak terlalu banyak kota atau kampung yang kami lewati. Sinyal komunikasi juga sudah menunjukan tanda no servis.

Di beberapa tempat, supir melambatkan laju strada nya. “Di kiri kita ada air terjun”, kami pun bergegas membuka jendela dan melihat air yang langsung turun di tebing di kiri jalan yang kami lewati. “Kalau musim hujan banyak air terjun yang kita jumpai” Mobil kembali memaju di jalanan, melibas beberapa genangan air bekas hujan barusan.

Milky Way di Perjalanan

“Berhenti dulu sebentar buat buang air kecil”, mobil kami berhenti di samping rumah kayu yang biasanya digunakan untuk beristirahat selama perjalanan. Sembari mencari lokasi di pinggir jalan, mata saya mencari kerlip bintang di langit. Segaris tipis awan putis miring terlihat.

“Saya ambil beberapa foto milky way dulu bentar ya” ucapku sembari mengeluarkan kamera canon 6D yang dari tadi berada di tas selempang yang saya kenakan. Karena tidak ingin mengulur waktu dan juga tripod masih berada di tas ransel, kamera saya letakan di batu yang agak rata, lensa diarahkan sedikit menyudut ke atas dengan bantuan batu kecil.

Langit sebenarnya kurang sempurna, awan masih menyelimuti sekeliling. Tertangkap kamera sekilas bentangan tipis galaksi bima sakti. Tidak sampai memanjang karena sebagian tertutup awan.

Yang paling sulit kalau tanpa tripod adalah ketika harus mengecek ulang apakah sudah fokus belum dan komposisi harus mengangkat kamera. Dan setelah itu mengira-ira kembali posisi yang tepat.

Di bak belakang ketika saya asyik menjepret jepretkan kamera, ternyata Adi, teman kami orang Bima yang tinggal di wamena, sedang berjuang dengan mabuk terguncang di perjalanan.

Jalur Darat Wamena - Yalimo
milky way tipis

Setelah mendapatkan satu frame yang dirasa cukup bisa untuk mewakili perjalanan kami, kamera kembali masuk ke dalam tas, dan kami bertukar posisi. Beberapa teman pindah ke kabin. Dan mobil kembali menderu di jalan tanah, meninggalkan percikan lumpur sepanjang perjalanan.

Sekitar pukul 10 malam kami tiba di Yalimo. Jalan beraspal sudah kembali kami lewati begitu masuk ke salah satu kabupaten pemekaran dari Wamena. Suasana kota Yalimo yang sepi menyambut kedatangan kami, yang akan beberapa hari berada di kota ini. Dan kami survive melintas jalur darat Wamena – Yalimo, yipiiie

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *