mengabadikan leboyan dari udara

“Mau bilon warna merah…” ucap salah satu anak sembari menarik-narik celana panjang bapaknya. Sang bapak menjawab dengan sabar..”iya..iya”. Sementara saya mencoba tidak terkekeh terlalu keras karena harus berfokus kepada drone yang saat itu sedang mencoba saya daratkan di tepi jalan. Beberapa anak kecil mendongak ke atas dan langit kemerahan di ufuk barat menandakan sebentar lagi pergantian hari menuju malam.

Dari tanggal 14 – 20 Maret 2018 kemarin saya dan beberapa teman dari Yayasan Riak Bumi menyusuri sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Leboyan. Yayasan Riak Bumi mempunyai aktivitas pengumpulan potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) sepanjang DAS Leboyan yang nanti akan berguna untuk melihat potensi-potensi HHBK yang bisa dikelola oleh masyarakat setempat untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan tentunya tetap dalam koridor pelestarian hutan. Saya sendiri diminta bantu untuk mengambil foto dari udara kampung-kampung sepanjang DAS Leboyan untuk membantu pendokumentasian kegiatan mereka.

“Besok berangkat ke Pontianak mas, lusa langsung berangkat ke Kapuas Hulu” informasi dari Deasy, salah satu staff Riak Bumi. “Tiket sudah dibelikan, besok tinggal berangkat saja” imbuhnya lagi. Yup, seperti biasa kegiatan keluar lapangan sering dalam bentuk dadakan. Informasi sekarang, minta kepastian, dan besok sudah terjun di lapangan. Segera mengemas peralatan kamera dan pakaian ganti ke dalam ransel, tak lupa menyelipkan pasport siapa tahu nanti dibutuhkan buat jalan-jalan ke perbatasan kalau ada waktu. Menengok Badau yang menurut informasi sudah bersolek dan menjadi salah satu pintu masuk Indonesia yang terlihat menawan.

Besok siangnya saya sudah berada di kantor Yayasan Riak Bumi di Pontianak dan sibuk berdiskusi dengan pak Heri, direktur Riak Bumi, tentang target dan rencana pengambilan foto udara. “Nanti bebek dan team menyusuri DAS leboyan. Mulai dari Leboyan naik ke hulu, sampai ke kampung terakhir Entebuluh” Saya melihat di papan tulis terdapat titik titik dan nama kampung yang berurutan. Leboyan – Semangit – Telatap – Semalah – Tempurau – Meliau – Mangin – Lubuk Bandung – Kapar Tekalong – Ganti – Nanga Ngaung – Tumbali – Ukit Ukit – Bakul – Keluin – Entebuluh. 16 kampung yang harus saya datangi satu persatu untuk mengambil foto dari udara. “Bebek punya waktu sampai kapan”? tanya pak Heri karena saya pernah berucap bulan Maret April ini saya cukup banyak aktivitasnya. “Saya baru dapat info kalau tgl 19 Maret ini harus ada di Jakarta karena persiapan IDC pak Heri, nanti lihat kondisi di lapangan kalau bisa di selesaikan sebelum tanggal itu lebih baik, tapi kalau tidak ya nanti kita bicarakan lagi setelah melihat kondisi di lapangan”

16 kampung dalam waktu hanya beberapa hari memang perlu perencanaan yang agak sedikit rumit. Kendala nanti yang akan saya hadapi di lapangan adalah lokasi yang berjauhan dan beberapa lokasi hanya bisa ditempuh dengan perahu menyusuri aliran sungai leboyan. Kendala berikutnya adalah baterai drone yang saya bawa hanya 3. Sedangkan nanti di lapangan listrik tidak di setiap tempat ada. Sebagian besar hanya menyala dari jam 6 sore sampai paling jam 10 malam. Jadi paling tidak sehari hanya bisa menggunakan 3 baterai. Kalau tidak mendadak mungkin saya bisa membawa solar panel yang saat ini masih saya tinggal di solo. Tapi karena mendadak ya terpaksa nanti lihat seperti apa kondisi di lapangan nanti. Kendala lain adalah cuaca. Walau sudah masuk bulan Maret tapi beberapa hari sebelumnya hampir setiap hari masih sering turuh hujan di Danau Sentarum. Jadi musti bersiap dengan rencana yang flexible, plan A, plan B, plan C sampai Z.

mengabadikan leboyan dari udara
putussibau

Bertiga, Saya, Riki dan Bang Illah keesokan harinya melakukan perjalanan, Pontianak – Putussibau – Lanjak – Leboyan. Pagi masih di Pontianak – sore harinya sudah berada di lokasi pertama, Leboyan.

mengabadikan leboyan dari udara
kopi dan kamera
mengabadikan leboyan dari udara
suasana leboyan

Beruntung cuaca cukup cerah jadi sore itu pengambilan foto kampung Leboyan bisa dilakukan. Drone terbang dari tengah kampung, menyisir ke bagian pinggir sebelah ujung kanan, kembali lagi dan mengambil gambar sudut kiri. Setelah itu mengambil foto suasana kampung dengan latar belakang langit merah Danau Sentarum, satu lokasi selesai, sisa 15 lokasi lagi.

mengabadikan leboyan dari udara
ikan salay di semangit

Esok harinya kami menuju Semangit, salah satu kampung penghasil madu hutan di Danau Sentarum. Pagi tadi sempat hujan di Leboyan, cukup lebat juga. Di Semangit kami merencanakan perjalanan berikutnya yang masih panjang. Nanti kami akan ditemani pak Yan, dengan perahunya menyusuri sepanjang aliran sungai Leboyan hingga ke Lubuk Bandung. Dari Lubuk Bandung nanti kami kembali lagi ke Lanjak dan baru dari Kapar tekalaong ke hulu, melanjutkan beberapa kampung lain yang bisa dijangkau lebih mudah karena sudah terhubung dengan jalan darat.

Seperti kemarin di Leboyan, rencana saya akan mengambil foto udara Semangit di sore hari. Tapi dari siang hujan sudah mulai turun membasahi Semangit. Hingga sampai sore hari mendung tebal menggayut memenuhi langit. Hingga pukul 5 sore cuaca masih tidak berubah, mendung dan gerimis masih menyelimuti kampung. Matahari sepertinya sore ini sedang cuti. Terpaksa rencana hari ini batal untuk mengambil foto udara karena kendala cuaca. Mudah-mudahan besok pagi masih sempat mengambil foto udara Semangit sebelum berangkat ke kampung lain.

mengabadikan leboyan dari udara
kampung semangit

Beruntung besok pagi cuaca cerah. Segera setelah memastikan tidak ada halangan drone mengudara di langit Semangit. Mengambil foto suasana kampung yang berjejer kiri kanan sungai dan berlatar belakang bukit Semujan. Foto kampung kedua selesai. Tapi baterai cuma tersisa dua buah. Padahal rencana hari ini kalau memungkinkan kami akan mengambil foto kampung Telatap – Semalah – Tempurau dan bermalam di Meliau untuk mengejar waktu. Beruntung rumah pak Yan siangnya menyalakan genset, dan satu baterai drone serta remote pun segera tertancap di colokan listrik, tinggal berharap cuaca hari ini tetap bagus.

mengabadikan leboyan dari udara
menyusuri sungai

Perjalanan dengan perahu menyusuri sungai berwarna kecoklatan yang sudah mulai masuk fase surut sedikit agak lambat karena berlawanan arus ke arah hulu. Di sepanjang perjalanan beberapa kali kami menjumpai burung king fisher yang terbang rendah di atas permukaan sungai.

Di Telatap, setelah meminta ijin dari pengurus dusun, drone kembali terbang. Tapi cukup sering terkena gangguan streaming ke handphone. Mungkin karena beberapa rumah walet yang terletak di pinggir desa mempunyai frekuensi yang hampir sama sehingga koneksi dari drone ke handphone sering kehilangan sinyal. Beberapa kali harus terbang buta karena streaming di handphone putus putus bahkan terkadang hilang.

mengabadikan leboyan dari udara
kampung semalah

Selesai di Telatap kami segera berpamitan dan menuju kampung berikutnya, Semalah. Semalah cukup lebar kampungnya. “dari sini ke ujung ke ujung mungkin ada sekitar 1 kilo” ucap sekretaris desa yang masih muda, paling berumur sekitar dua puluh tahunan menjelaskan kampung Semalah. Benar juga, drone terpaksa naik cukup tinggi, sekitar 120 meter untuk bisa mendapatkan gambar suasana kampung yang ternyata juga melebar ke belakang. Anak-anak kampung Semalah yang bergerombol ketika mendengar suara drone segera berkumpul untuk menonton.

Ramaiiiii.. Menyempatkan mengambil beberapa frame video keseruan anak-anak sebelum remote mulai memberi tanda bahwa baterai sudah dibawah 30%. Kampung ke empat beres, segera kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan karena masih cukup jauh hingga sampai ke Meliau.

Kampung Tempurau juga ternyata lebar, di bagian hulu terdapat kantor desa dan lapangan sepak bola. Rumah menyebar sepanjang aliran sungai yang sedikit berkelok di tengah. Dari kampung Tempurau, bukit Semujan masih menjadi latar belakang yang menarik di kejauhan sana.

mengabadikan leboyan dari udara
menjelang sore
mengabadikan leboyan dari udara
Pak Yan, nahkoda handal

Sementara semburat mentari menyebar di antara awan dan membuat bayangan rumah-rumah terlihat memanjang. Kampung kelima beres, segera kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju Meliau. Baterai drone juga ketiga-tiganya sudah habis jadi sampai Meliau nanti paling cuma bisa mengisi baterai untuk perjalanan besok harinya.

Tiba di Meliau langit sudah mulai gelap, rumah panjang Meliau di belokan sungai menyambut kami selepas kelokan-kelokan sepanjang perjalanan. Beberapa burung rangkong sempat melintas dalam perjalanan tadi, sepertinya mereka juga dalam perjalanan kembali ke sarang mereka untuk beristirahat.

Kami bermalam di rumah kepala desa Meliau. “Mandi di sungai apa di belakang?” ucap bang Illah, “kabarnya di Meliau sering ada buaya” imbuhnya lagi. Akhirnya kami berempat mandi sore menjelang malam di sungai depan rumah pak kades. Tapi tidak berani berenang di sungai, mandi di jembatan yang sedikit terendam air sungai, itupun mandinya dengan gayung plastik, sambil ditemani penerangan lampu senter.

Sayang beberapa malam ini cuaca kurang bersahabat, padahal kalau cuaca cerah, selepas tengah malam bisa menikmati milky way dari depan rumah pak kades Meliau. Apalagi suasana kampung yang gelap gulita karena mereka hanya mengandalkan tenaga surya di siang hari untuk memberi tenaga lampu di malam harinya.

Setengah enam pagi sudah terbangun, melihat keluar, langit biru. Segera mengambil drone dari tas, dan menerbangkan drone menembus kabut pagi yang menyelingkupi Meliau. Jauh di hilir danau danau di sekitar Sentarum tertutup kabut, sementara rimbunan hutan di sekitar kampung kehijauan kontras dengan aliran sungai coklat tua mengular menembus hutan. Pengambilan gambar kampung keenam selesai. Hari ini rencana mengambil gambar di dua kampung yang letaknya berjauhan, Mangin dan Lubuk Bandung.

mengabadikan leboyan dari udara
langit biru dan sungai kecoklatan sepanjang perjalanan

Perjalanan berkelok menyusuri sungai leboyan yang berarus cukup deras mungkin sisa hujan semalam yang cukup lebat. Riak putih menyeruak di antara warna coklat tua sungai. Di beberapa tempat, pohon berisi puluahn sarang lebah hutan Apis dorsata masih terlihat. Sisa kepala berisi madu panen beberapa waktu yang lalu, sudah mulai kembali dihuni oleh koloni lebah hutan. Hasil dari pembelajaran mengenai praktek panen lestari yang berusaha untuk lebih melestarikan koloni lebah hutan dengan tidak memotong seluruh sarang lebah, hanya mengambil bagian kepala sarang yang berisi madu, dan menyisakan sebagian untuk cadangan makan koloni lebah hutan.

Tiba di Mangin, suasana desa agak sepi. Sebagian besar penduduk memang kalau siang hari pergi ke ladang dan beraktivitas. Biasanya kampung mulai ramai kembali di sore hari, setelah semua penduduk kembali dari aktivitas. Kami minta ijin dari pengurus dusun untuk menerbangkan drone mengambil beberapa foto kampung dari atas. Setelah itu berpamitan dan kembali menyusuri sungai menuju ke Lubuk Bandung.

mengabadikan leboyan dari udara
terkantuk di perjalanan

Selepas tengah perjalanan, kami banyak menjumpai kawasan pinggir sungai Leboyan yang sudah mulai beralih fungsi menjadi area persawahan. Padi ranum menguning sepertinya tidak lama lagi mulai masuk musim panen menemani perjalanan kami hingga tiba di Lubuk Bandung. Kampung yang berupa rumah panjang dayak Iban terletak di belokan sungai Leboyan. Hujan sempat turun di perjalanan, beruntung tas sudah kami tutup dengan plastik sehingga aman. Dan jas hujan plastik membungkus tubuh kami dari rintik hujan yang datang tiba-tiba.

Beruntung tak lama kemudian hujan reda, dan langit meskipun mendung tapi tidak nampak tanda-tanda akan turun hujan. Drone pun terbang mengambil suasana kampung dan sekitarnya. Kampung ke delapan yang sudah diambil fotonya. Tersisa delapan lagi tapi lebih mudah karena bisa dijangkau dengan jalur darat.

mengabadikan leboyan dari udara
sore saguer

Seremoni sore hari yang biasa masyarakat Lubuk Bandung lakukan juga kami alami ketika berada di sana. Salah satu penduduk mengambil saguer, air pohon enau atau aren (Arenga pinnata) yang disadap. Berkumpul remaja dan orang tua, laki laki dan perempuan di halaman rumah panjang.

mengabadikan leboyan dari udara
hingga malam tiba

Di bagian tengah, salah satu penduduk bertugas mengisi gelas plastik dengan saguer. Satu gelas takaran penuh, rata hampir sampai mulut gelas. Ditemani rebusan ikan biawan yang barusan mereka dapatkan dari sungai. Saguer mengalir menghangatkan tenggorokan. Saya yang masih kurang begitu paham bahasa dayak iban cuma bisa sesekali terkekeh kalau ada yang melempar guyonan dan disambut tawa riuh teman-temannya.

mengabadikan leboyan dari udara
malam di lubuk bandong

Malam berbintang kali ini menemani mereka yang duduk duduk di halaman rumah panjang. Saya beberapa kali harus mengecek handphone yang saya gantungkan di salah satu tiang di ujung rumah panjang. Spot sinyal, karena di tiang itu paling tidak masih bisa dapat bocoran salah satu provider komunikasi dari banua martinus. Walau cuma bisa komunikasi via sms, itupun setiap kali mau membalas sms, kita tuliskan semua jawaban, kemudian kembali kita gantungkan ke tiang. Tunggu beberapa saat sampai kembali terhubung dan ada balasan sms, baru handphone kita ambil kembali, tuliskan balasannya lagi, dan dikembalikan lagi ke tiang. Saya menguhubungi pak Heri untuk memberitahukan jadwal besok dan kalau bisa bertemu di Kapar Tekalong untuk langsung mengerjar pengambilan gambar ke kampung selanjutnya.

Sayang setelah itu mendung menggayut langit malam di Lubuk Bandung. Beberapa kali saya terbangun dan keluar rumah panjang cuma mendapatkan langit berawan tanpa bintang. Ya sudah, perjalanan kali ini kurang diberkahi dengan malam berbintang. Padahal terbayang kalau cerah, bisa mendapatkan foto-foto rumah panjang berlatar belakang kabut bima sakti.

mengabadikan leboyan dari udara
diantara rimbunan hutan

Selepas Kapar Tekalong, perjalanan ke hulu menjadi lebih mudah untuk urusan transportasi. Tapi tetap kendala cuaca dan keterbatasan listrik untuk mengisi ulang baterai membuat kami harus merencanakan dengan teliti. Tersisa 8 kampung dan sudah tanggal 18 Maret. Target harus kembali ke Jakarta tanggal 18 sudah terlewati, paling tidak tanggal 20 atau 21 sudah harus kembali jakarta. Jadi cuma tersisa dua hari lagi untuk 8 kampung.

Semalam, di Lubuk Bandung, kami mengandalkan listrik dari tenaga surya yang kami perkirakan cukup kuat untuk mengisi 3 baterai drone. Tapi ternyata sebangun kami pagi harinya, setelah saya cek hanya satu baterai yang penuh, dua lagi belum terisi. Alamakk.. gagal total donk rencana hari ini untuk mengambil 3 kampung berikutnya.

Beruntung tanggal 18 itu hari minggu, dan hari minggu di Lanjak dan sekitarnya listrik siang hari menyala sampai jam dua siang. Jadi sepagi mungkin kami berangkat dari Lubuk Bandung menuju Kapar Tekalong. Jam tujuh pagi kurang kami sudah berada di perahu yang mengantar kami membelah sungai Leboyan menuju Kapar Tekalong. Demi listrik untuk mengisi baterai drone, kami rela bangun pagi deh !!!

Tiba di Kapar Tekalong, kami menyerahkan surat tugas ke pengurus desa sembari minta ijin untuk pengambilan foto dari udara. Begitu ijin sudah dikantong, drone terbang mengambil beberapa frame seputar kampung. Dari udara terlihat jalan beton yang menghubungkan Kapar Tekalong dengan jalan besar Putussibau – Lanjak. Begitu akses jalan darat terfasilitasi, pembangunan suatu daerah bisa dipercepat memang cukup terlihat signifikan di daerah Kapuas Hulu ini. Beberapa tahun yang lalu kalau ke Danau Sentarum kami harus berjibaku di jalan darat yang terkadang rusak, bahkan dibela-belain lewat perbatasan malaysia walau lebih panjang tapi lebih cepat karena akses jalan yang lebih bagus dibanding jalan propinsi.

Tapi beberapa tahun belakangan ini memang infrastruktur di luar jawa mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kini dari Putussibau menuju Lanjak bisa dicapai dengan mobil sekitar dua jam melewati jalan hot mix. Akses ke kampung-kampung juga mulai diperbaiki. Jalan tanah dikeraskan atau mulai di beton, listrik juga sudah mulai mendapat bantuan solar panel dari pemerintah. Maju terus Indonesia, dan pembangunan yang merata untuk semua daerah.

Seusai pengambilan gambar di Kapar Tekalong, kami berencana mencari listrik di Ukit Ukit, mengejar waktu sebelum lewat jam dua siang. Dengan bantuan pinjaman motor dari kepala desa kami membelah jalan menuju kampung berikutnya, Ganti.

Kampung Ganti berupa rumah panjang sehingga bisa kami ambil gambarnya dalam waktu singkat untuk mengejar waktu ke Ukit Ukit. Tersisa enam kampung lagi, dan kami berkejaran dengan waktu. Target kami paling tidak dua atau tiga kampung lagi hari ini, dan sisa tiga kampung lagi dikebut besoknya. Lusa sudah bisa kembali ke Jakarta.

mengabadikan leboyan dari udara
kampung ganti

Di Ganti kami bertemu dengan pak Heri, menyusun rencana untuk hari ini dan besok. Riki dan bang Illah tetap akan ditemani pak Yan menyelesaikan tugas pencarian data potensi HHBK dari beberapa desa yang kami lewati beberapa hari sebelumnya. Saya dibantu pak Heri dan Jim Sammy akan melanjutkan ke 8 kampung berikutnya hingga hulu untuk pengambilan foto dari udara.

“Di Ngaung Keruh, minggu listrik masih nyala hingga jam dua nanti kok” ucap pak Heri membangkitkan semangat untuk menyelesaikan seluruh pengambilan foto dari udara sesuai rencana. Sembari menyusun folder per folder foto foto aerial sesuai lokasi, 3 baterai drone sudah mulai perlahan terisi hingga jam dua siang.

Menjelang sore, dengan tiga baterai drone terisi penuh, kami berencana mengambil foto udara sepanjang Nanga Ngaung, Tumbali dan Ukit ukit. Tapi ketika selesai mengurus perijinan di kepala desa di Ukit Ukit, hujan deras turun dari langit. Langit biru yang mengisi siang tadi berganti gumpalan awan kelabu dan rintik air.

Kami menengok ke arah hilir, sepertinya masih belum turun hujan. Berkejaran dengan waktu yang semakin sore dan cuaca yang semoga tidak semakin bertambah buruk, kami melaju menuju Nangga Ngaung. Tapi awan sepertinya bergerak ke hilir, hujan rintik menyambut kami ketika tiba di Tumbali. “gimana bek ? diteruskan atau balik saja?” tanya pak Heri ketika melihat awan gelap menutup sekitar. “Lanjut dulu aja pak Heri, kita lihat suasana di Nanga Ngaung” balasku, sembari sedikit kawatir sore ini target tidak terpenuhi. Tapi mau gimana lagi kan, kita berencana alam yang menentukan masih jadi salah satu pedoman yang saya pegang ketika melakukan pemotretan di alam.

Tiba di Nanga Ngaung, masih gerimis. “Kita tunggu sepuluh sampai lima belas menit, kalau cuaca tetap seperti ini kita kembali pak Heri”. Beruntung, alam sepertinya ramah sore itu. Angin membawa awan menuju hilir, meninggalkan rintik hujan yang kemudian berangsur menghilang. Langit belum cerah benar, mendung masih menutupi langit. Tapi sepertinya hujan sudah usai. “lima menit lagi selepas awan besar lewat, kita terbangkan drone” ucapku sembari mengawasi langit.

Sepuluh menit kemudian drone terbang tinggi menyusuri sungai Leboyan, mengabadikan perkampungan Nanga Ngaung di sepanjang sungai. “Bilon nyamuk” ucap beberapa anak sembari menunjuk ke langit. Suara drone yang seperti serangga menyebabkan anak-anak menyebut drone sebagai bilon nyamuk. Bilon adalah bahasa lokal untuk pesawat. Jadi bilon nyamuk berarti pesawat nyamuk hahahahaha.

Sialnya, sore itu, agas sepertinya berpesta pora. Seluruh tubuh saya gatal dan bentol-bentol menjadi santapan mereka ketika menerbangkan drone. Salah seorang anak membakar kardus supaya mengeluarkan asap untuk mengusir agas, tapi sudah terlanjur menyebabkan saya menerbangkan drone sembari berdansa, mengusap gatal akibat agas.

Langit sore ditambah mendung membuat suasana cukup temaram, tapi untuk mengejar target dan menggunakan kecepatan rendah, masih bisa lah untuk mengambil satu kampung lagi. Tumbali menjadi kampung terahkir sore ini yang saya abadikan. Drone yang terbang dalam kondisi temaram, beberapa kali memberikan peringatan cahaya terlalu rendah, sensor mungkin kurang akurat.

Begitu mendapatkan beberapa frame yang sesuai, drone kemudian saya turunkan. Kondisi yang sore dan angin di atas sana sepertinya membuat drone turun kali ini dalam kondisi yang cukup dingin, seperti habis dimasukan ke ruangan ber ac.

mengabadikan leboyan dari udara
menyimpan data di lapangan

Tersisa 4 kampung lagi dan hanya 3 baterai untuk satu hari tersisa. Ukit ukit dan Bakul merupakan kampung yang cukup besar, jadi harus satu baterai untuk satu kampung. Sedangkan Keluin dan Entebuluh merupakan kampung dengan rumah panjang, jadi seharusnya bisa untuk satu baterai dua kampung. Semoga saja esok harinya cuaca dan kondisi memungkinkan untuk menyelesaikan pengambilan foto udara.

Malam harinya, semua baterai kembali dalam posisi diisi ulang. Setiap malam selalu memasukan file file ke dalam harddisk dan tidak lupa mengatur sesuai folder lokasi sehingga tidak membingungkan di kemudian hari.

mengabadikan leboyan dari udara
kampung ente baluh

Ukit Ukit dan Bakul bisa diambil foto udara tanpa kendala berarti. Sempat kawatir ketika siang hari langit gelap tertutup mendung membuat rencana kami untuk mengambil foto udara di Keluin dan Entebuluh sempat tertunda. Beruntung walau sedikit mendung satu baterai bisa menyelesaikan foto udara di Keluin dan Entebuluh. 16 Kampung akhirnya bisa dikerjakan walau terburu-buru dalam waktu 5 hari.

mengabadikan leboyan dari udara
kampung bakul

Walau dalam keterbatasan waktu, sumber daya, cuaca dan tenaga listrik, tapi paling tidak dari foto-foto udara yang kami kumpulkan bisa menjadi salah satu media untuk melihat suasana kampung dan sekitarnya dari udara.

Semoga dokumentasi ini nanti bisa berguna untuk masyarakat di sekitar DAS Leboyan, dan semua pihak yang berkepentingan.

Beberapa catatan yang bisa saya ambil dari perjalanan pengambailan foto udara 16 kampung di sepanjang aliran sungai  Leboyan ini antara lain:

  • Cuaca sangat berpengaruh terhadap kelancaran kegiatan, terutama untuk kegiatan luar ruang. Tetap utamakan keselamatan.
  • Perencanaan sangat penting, dan untuk kegiatan di alam lebih baik mempersiapkan beberapa alternatif rencana dan flexible terhadap kondisi di lapangan
  • Baterai dan kondisi listrik di sekitar juga sangat berpengaruh, semakin ke lokasi yang jauh dari kota kemungkinan akan semakin susah mendapatkan akses listrik setiap saat.
  • Untuk menerbangkan drone di setiap lokasi (kampung) usahakan untuk meminta ijin, sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari dan untuk menghargai masyarakat sekitar.
  • Beberapa kali saya mengalami kendala koneksi drone dengan handphone, entah karena sinyal kurang bagus atau handphone saya yang jadul :D. Yang penting jangan panik, karena drone masih bisa kita kontrol dari remote.

Dari jendela pesawat yang membawa kembali dari Putussibau, sungai Leboyan yang mengalir seperti ular di bawah sana menjadi flash back beberapa hari perjalanan menyusuri sungai Leboyan. Sampai ketemu lagi di lain waktu Leboyan !!!

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *