Pandangan menyapu ke jalur yang sepertinya sama-sama bakalan cukup susah untuk dilewati. Di tengah, cekungan dalam berundak bekas tergerus air sudah cukup meyakinkan saya untuk tidak melewatinya. Jalur paling kanan agak melambung, tapi bekas bekas sepatu yang terpeleset membuat saya mengurungkan niat. Di sebelah kiri, jalur melewati pohon, kaki harus melangkah turun cukup dalam, tapi sepertinya paling sedikit resiko terpeleset, karena ada batang pohon buat pegangan. Pendakian Gunung Lawu jalur Candi Cetho di kala hujan memang “menyenangkan”, butuh ekstra konsentrasi supaya tidak merosot terdorong gaya gravitasi dan berujung pulang bawa celana berkubang lumpur.

Rencana Awal Pendakian

Seharusnya di bulan Juni sudah memasuki musim kering, padang rumput sudah mulai kecoklatan karena lama tidak mendapatkan siraman air. Bahkan penyair sekelas Sapardi Djoko Damono mengabadikan dalam secarik puisi “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu“. Sama seperti besarnya keinginan untuk kembali menapaki jalan tanah di pegunungan setelah lebih dari setahun mencoba hanya diam di rumah.

Beberapa hari sebelumnya, Pak Kepala Sekolah, Marsono memberi tahu kalau ada waktu luang dua hari. Yuk naik gunung.. Rencana awal ke gunung Merbabu, tapi apa daya jalur yang dibuka saat itu hanya jalur lewat Suwanting, jalur Selo masih belum dibuka. Itupun lewat Suwanting hanya tinggal 1 slot pendaki yang masih kosong. Akhirnya alternatifnya ke Gunung Lawu jalur candi Cetho, tapi target hanya bermalam di Gupak Menjangan saja, tidak perlu ke Puncak Hargo Dumilah.

Kabar dari basecamp Cetho, hampir setiap sore masih turun hujan lho. Jadi kita siap-siap pendakian basah” info Marsono sehari sebelumnya. Terbayang jalur candi cetho yang beberapa tahun kemarin kami lewati dengan debu tebalnya. Kami bertiga naik sampai harus jaga jarak, paling tidak selemparan kata woiii masih terdengar. Tanah lembut yang kalau diinjak bakalan berterbangan kemana mana. Kalau hujan tanah lembut tadi bakalan jadi kayak bubur, dan kalau tidak hati-hati bakalan sering kejadian perosotan nih.

Akhirnya diputuskan untuk berangkat subuh dari Solo, supaya pendakian bisa dimulai lebih pagi. Paling tidak untuk mengurangi resiko karena hujan biasanya sore hari. Sengaja juga mengambil waktu pendakian di hari selasa – rabu untuk menghindari keramaian. Semenjak beberapa gunung dibuka sudah mulai banyak pendaki yang kembali ke gunung. Salah satu buktinya booking online untuk gunung Merbabu dan Semeru langsung habis kuotanya setiap weekend.

peta-pendakian-gunung-lawu-jalur-candi-cetho

Basecamp Menuju Pos 1

Setelah mengisi data dan membeli tiket masuk, berempat, Marsono, Adit, Burhan dan Saya memulai menyusuri jalan setapak di sebelah kiri kawasan candi Cetho.

pak kepala sekolah, Marsono Adi
Mandor lagi liburan, Burhan
Fotografer Profesional, Adit

Seperti biasa posisi Marsono berada paling depan, dan saya paling belakang. Adit yang mempunyai stamina berlebih sering bertukar posisi dari depan ke belakang sembari mengabadikan momen dengan kamera Fuji XT-2 nya.

memulai perjalanan dari basecamp candi cetho

Awalnya kamera canon 6D dengan lensa 24-105mm saya masukan ke dalam tas kecil dan ditaruh di depan. Sedangkan Gopro ditaruh di tali bahu tas ransel untuk merekam video di perjalanan. Rencananya supaya lebih mudah diakses apabila ingin mengambil foto. Tapi terkadang harapan ndak sebanding dengan persiapan. Bisa dibilang pendakian kali ini saya kurang persiapan fisik. Apalagi sudah beberapa tahun saya tidak memanggul ransel lagi ke gunung. Untuk berjalan saja mengimbangi nafas dan langkah kaki rada kesulitan, apalagi sampai berpikir tentang komposisi dan cahaya hihihih.. Tas yang berisi kamera dslr juga rasanya kurang nyaman karena mengganggu sirkulasi udara, sehingga setiap kali berhenti badan basah kuyup dengan keringat. Akhirnya kamera dslr saya masukan ke dalam ransel, dan tas kecil saya gantungkan di bagian belakang ransel. Jadi sepanjang perjalanan saya hampir tidak memotret, hanya mengandalkan rekaman video dari gopro.

Jalur dari basecamp menuju ke pos 1 masih seperti perjalanan beberapa tahun yang lalu. Masih cukup landai dan menanjak sedikit. Setelah melewati candi Kethek kita melewati perkebunan penduduk, setelah itu mulai memasuki daerah hutan dengan pepohonan rendah. Di beberapa tempat, kami menjumpai jalan yang dialiri air karena beberapa pipa yang bocor. Selepas itu kami menjumpai warung yang berada di lokasi pemandian. Karena bukan hari minggu sehingga warungnya tutup. Di sini kami berhenti sebentar sembari Burhan menyiapkan tongkat dari kayu untuk membantu di perjalanan. Memakai tongkat menjadi salah satu tips berguna untuk mendaki berusia 40 tahun ke atas hahaha.

Petirtan Sapta Rsi

Melihat air yang melimpah rasanya pengen menyeburkan diri ke kolamnya. Tapi bukan saat ini, karena perjalanan kami masih jauh. Dari sini ke pos 1 seharusnya sudah tidak terlalu jauh lagi.

jalur menanjak menunggu di depan

Saya cukup kaget ketika menjumpai ada warung yang berdiri di kiri jalan sebelum pos 1. Warungnya juga ternyata buka setiap hari, tidak hanya sabtu minggu. Mana ada benda merah setengah bulat yang menggoda pandangan.. semangka… Walau porsi yang dijual diiris tipis tapi tetap saya santap juga, kapan lagi kan makan semangka di gunung. Selain itu juga ada es teh.. lhah.. ini mah berasa ndak kayak jalan jalan di kampung.

Saking mriki teng pos setunggal teseh pirang menit bu?” (dari sini ke pos 1 masih berapa menit bu?) “Paling ndak sampai 10 menit mas, asal mboten leren teng wit gede mawon” (paling ndak sampai 10 menit, asal tidak beristirahat lagi di pohon besar). Kami tiba di pos 1, Mbah Branti, yang berada di ketinggian 1700 mdpl. Jarak tempuh dari basecamp menuju ke pos 1 sekitar 764 meter, bisa ditempuh dalam waktu 45 menit – 1 jam. Tapi jangan dihitung berapa lama waktu berhenti di warung ya.

Pos 1 menuju Pos 2

Di pos 1 terdapat shelter dengan atap seng yang bisa digunakan untuk berteduh ketika hujan. Kami hanya berhenti sebentar karena sebelumnya sudah cukup lama berhenti di warung. Dari sini kami mulai memasuki kawasan hutan yang cukup rapat. Jalan juga semakin licin dan banyak kubangan air, sehingga kami harus lebih berhati-hati ketika menapakankan kaki.

jalur tanah menanjak

Beberapa lokasi juga mengharuskan saya harus mengerahkan tenaga untuk menaiki akar pohon. Hujan beberapa hari sebelumnya memang membuat medan menuju ke pos 2 ini menjadi lebih berat.

Beberapa kali saya juga harus berhenti karena keringat yang menetes di kacamata, pandangan jadi kabur. Coba kalau ada kacamata dengan wiper ya, jadi ndak perlu harus sering-sering berhenti untuk membersihkan kacamata hahaha..

jalur menanjak bikin nafas sisa separo

Medan juga sudah mulai menanjak, jarak dari pos 1 ke pos 2 menurut panduan sekitar 1034 meter dan ditempuh dalam waktu 1 jam. Saya berjalan paling belakang, dan beberapa kali suara Marsono atau Adit terdengar ketika saya lama belum sampai di tempat mereka menunggu. Beruntung saya punya teman-teman yang mau sabar menunggu, karena di alam, kita seperti saudara.

menunggu yang belakang tiba

Kondisi jalan juga cukup menyulitkan karena basah sisa hujan hari sebelumnya. Kalau tidak berhati-hati sering kali sepatu terjebak di tanah yang cukup liat. Jangan salah injak akar pohon juga, karena kadang kalau tidak seimbang kita bisa terpeleset. Tongkat cukup membantu untuk keseimbangan ketika kaki mencari pijakan yang aman.

Di Pos 2, Brak Seng, terdapat shelter yang lebih luas. Pohon besar yang dibalut kain di pinggir jalan juga ternyata beberapa waktu yang lalu roboh. Ketinggian pos 2 berkisar 1906 mdpl. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, Pos 2 ini sekarang lebih terbuka dan cukup luas.

rehat di pos 2

Begitu sampai di pos 2, perut sudah mulai keroncongan. Menu makan siang kali ini cukup berat. Ayam bakar pak Lusi dan lontong. Ayam yang dioles dengan bumbu barbecue kami panggang di atas trangia, sementara 4 lontong dipotong-potong sebagai pengganti nasi. Beberapa rombongan pendaki juga mulai menyusul di pos 2. Sepertinya mereka juga berpikiran yang sama, naik bukan di waktu weekend supaya menghindari keramaian. Info dari ibu penjaga warung di bawah pos 1 tadi juga kalau jumat sabtu minggu bisa sampai 300 pendaki yang melewati jalur candi Cetho. Sepertinya jalur Candi Cetho memang mulai menjadi favorit beberapa pendaki karena padang sabana nya yang cukup luas dibanding dengan jalur Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang.

Pos 2 Menuju Pos 3

Kondisi menuju pos 3 tidak terlalu banyak berbeda dengan sebelumnya, hanya lebih banyak tanjakan sepanjang perjalanan. Selain itu mendekati pos 3 kondisi medan lebih terbuka, dan jalan juga semakin licin. Beberapa kali saya hampir terpeleset kalau tidak hati-hati memilih lokasi injakan kaki. Jalur juga di beberapa tempat menjadi lebar, sehingga kadang kita harus memilih apakah mengambil jalur di kiri, tengah atau kanan. Tapi ingat jangan memotong jalur, tetap ikuti aturan dan melewati jalur yang sudah ada.

perjalanan masih jauh

Perlahan kaki kanan menapak, mencoba mengikuti jejak sepatu pendaki sebelumnya. Tongkat di tangan kanan memberikan sedikit rasa keseimbangan, berasa punya kaki ketiga. Sol sepatu gunung yang sudah menemani saya selama hampir 11 tahun ini sepertinya memang sudah kurang cocok untuk berjalan melewati jalan tanah selicin ini, ibaratnya rem sudah ndak ngigit. Beruntung tas kamera sengaja saya masukan ke dalam ransel, jadi tidak mengganggu pergerakan. Dengan kondisi jalan dan hujan yang sering turun, memang membawa kamera dslr untuk mengabadikan perjalanan di gunung jadi kurang efektif. Gopro atau kamera handphone rasanya lebih maksimal digunakan. Sepertinya untuk pendakian berikutnya, perlu mencari sistem kamera yang lebih ringkas dan lebih efektif ketika digunakan untuk memotret selama perjalanan. Kualitas mungkin menjadi urutan kesekian, lebih baik ada rekaman momen dengan kualitas yang lebih minim. Jadi ingat kata bijak, kamera terbaik adalah kamera yang kita gunakan saat ini.

Rintik hujan mulai turun membasahi tanah. Tak lama kemudian berganti hujan deras. Jas hujan yang berada di bagian paling atas segera kami keluarkan. Jalan setapak yang sebelumnya sudah parah, sekarang berubah menjadi aliran sungai. Air kecoklatan mengalir deras menyusuri jalan setapak yang di beberapa tempat berubah menjadi cekungan. Suara gemericik seperti sungai diiringi tetesan air hujan di jas hujan segera mengisi suasana sekitar. Kami putuskan untuk terus maju dengan pertimbangan mata air sudah tidak terlalu jauh dari lokasi kami saat ini.

hujan sebelum tiba di pos 3

Marsono yang berada di depan mulai mencari jalur yang tidak basah. Tangan kanan meraih batang pohon dan kaki mulai mencari tumpuan. Srotttttt.. tapi ternyata tanah cukup licin, beruntung tidak sampai terbanting dan hanya merosot ke bawah. Kalau tidak terkontrol dan menubruk Adit bisa jadi kayak bowling, bakalan saling luncur hiahaha..

Marsono kembali mencari jalan lain, disusul Adit dan Burhan. Sepertinya dengan kondisi saat ini, jalur yang paling bagus adalah di jalur berundak yang dilewati air. Tapi resikonya sepatu dan kaos kaki bakalan basah. Tapi cukup sebanding dengan kalau mengambil jalur lain yang lebih licin.

tiada pilihan

Kaki melangkah lebih berhati-hati, air hujan bercampur keringat beberapa kali meleleh melewati kacamata. Mulai terasa dingin yang meresapi kaki dari kaos kaki yang basah. Konsentrasi dan fokus menjadi lebih peka untuk mengimbangi kondisi jalan yang berubah menjadi sungai. Target kami harus bisa tiba di tempat datar sebelum mulai gelap.

Berhenti di Pos 3

Lokasi mata air ternyata juga banyak pendaki lain yang berteduh. Shelter di sebelah kiri mata air juga sepertinya dipenuhi pendaki. Beberapa tenda juga sudah berdiri di seputaran kawasan. Ternyata sekarang pos 3 dipindah turun ke mata air, dan lokasi lebih dibuka dan banyak tempat datar yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Bahkan ada warung yang berdiri, tapi tutup, karena hanya buka ketika sabtu minggu atau hari libur.

Kami mencari lokasi yang cukup lapang, mendirikan fly sheet supaya bisa berteduh. Sudah pukul 5 sore. Kalau ingin melanjutkan ke target awal bermalam di Gupak Menjangan kami terpaksa harus berjalan malam. Saya dengan kondisi hujan, jalan licin, tanjakan menuju pos 4 yang tiada ampun dan beban yang rasanya masih tetap berat, memilih untuk bermalam di pos 3. Adit dan Burhan yang belum pernah ke Sabana mungkin memiliki pilihan yang lain. Marsono yang masih kuat juga mungkin berminat untuk kembali menikmati pemandangan padang rumputnya.

Setelah berunding, diputuskan untuk tetap jadi satu team dan bermalam saja di pos 3. Kalau besok pagi cuaca lebih baik bisa dipertimbangkan untuk meninggalkan barang-barang di pos 3 dan naik ke sabana. Berarti saatnya untuk membongkar perbekalan dan mulai memasang tenda.

Memang tenda menjadi salah satu peralatan yang wajib dibawa oleh kelompok. Paling tidak ketika kondisi hujan, di dalam tenda kondisi lebih hangat dan kering. Mental juga menjadi lebih tinggi apabila tenda sudah berdiri. Tenda ibaratnya rumah kita selama di alam.

Setelah tenda berdiri, satu persatu mulai berganti pakaian kering dan mulai menyiapkan sesuatu untuk menghangatkan tubuh. Air putih yang baru selesai mendidih mulai berubah menjadi coklat dan kopi dan dituang ke dalam gelas. Ditemani kue dan camilan sembari menunggu menu makan malam dihidangkan. Jangan dianggap sepele, minuman dan makanan hangat dalam kondisi lelah dan kedinginan bisa menaikan moral kita lho.

Bermalam di Pos 3

Marsono dan Burhan yang bertugas di dapur umum. Dengan dua kompor trangia, dua panci kecil diisi air. Spagheti dipotong menjadi lebih kecil supaya bisa muat ke dalam panci. “Air harus lebih banyak supaya tidak ngletis” saran Marsono ke Burhan. “Atasnya ditutup supaya air lebih cepat mendidih” tambahnya lagi.

Sembari menunggu matang, bawang bombai diiris tipis dan dicampur ke dalam saus bolognes. Tidak lupa ditambahkan suiran ayam dan diaduk. Setelah itu dihangatkan di atas wajan penggorengan yang sengaja di bawa untuk memasak. Aroma daging segera menguar memenuhi tenda. Tubuh yang sedari sore tadi diguyur hujan, memang membutuhkan banyak asupan pengganti kalori yang hilang. Dan salah satu yang selalu dirindukan adalah makan malam bersama ketika berada di gunung, priceless

rumah kami di pos 3

Perut kenyang, di luar masih hujan, aktivitas berikutnya.. tidur.. Padahal baru jam 8 malam, tapi mata sudah mulai menyipit. Sleeping bag sudah digelar, tapi rasanya malam ini cukup hangat, jadi jaket tebal tetap berada di compresion bag, tidak dikeluarkan. Nanti saja kalau mau keluar buat motret dan dingin baru dikeluarkan.

Kali ini perjalanan pertama saya naik gunung tidak membawa sleeping pad. Klymit V2 yang selama ini menemani perjalanan beberapa kali harus direveparasi karena bocor. Terakhir perekat yang membuat kontur sleeping pad nya pada lepas, sehingga bentuknya sekarang menjadi gembung. Dan memang beda rasanya tidur hanya beralas matras alumunium dengan menggunakan sleeping pad. Apalagi tempat yang saya tiduri ternyata berupa lekukan tempat aliran air. Jadinya begitu saya terbangun sekitar jam 11 malam badan berasa pegal. Sepertinya harus mulai dibudgetkan ulang untuk beli sleeping pad lagi nih.

Memotret Milky Way di Pos 3

Beberapa kali saya terbangun dan melongok keluar tenda, tapi ternyata mendung masih menyelimuti pos 3. Hanya bulan yang terlihat, bintang enggan menampakan dirinya. Baru sekitar pukul 4 pagi, ketika keluar tenda untuk ke beberapa kalinya, mata saya mulai beradaptasi dan melihat bintik-bintik putih memenuhi langit. Saatnya mengeluarkan kamera dan tripod.

menikmati pendaran bima sakti

Sayang, bagian inti milky way saat itu berada di belakang pepohonan pinus. Tapi juga sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk memotret milky way karena kondisi bulan yang cukup terang. Baru sekitar pukul 4 pagi ketika bulan mulai terbenam, pendaran tipis kabut bima sakti mulai terlihat.

kerlip bintang dan cahaya lampu

Dan seperti biasa, beberapa teman yang sudah mulai bangun mulai menjadi korban untuk menjadi model dadakan. Salah satu seni ketika memotret orang di waktu malam tanpa menggunakan flash dan hanya menggunakan head lamp adalah tahu berapa lama kita harus menyorotkan headlampnya. Terlalu lama, over, terlalu cepat, under exposure. Jadi terpaksa harus menjadi korban, di awal harus diulang beberapa kali untuk mendapatkan exposure di tubuh yang sesuai. Kendala lain ketika menggunakan lampu yang kurang terang adalah karena memotret dengan kecepatan rendah, berkisar antara 15-30 detik, ditambah suhu dingin pegunungan, tanpa sadar sering bergoyang-goyang. Jadinya ya kalau mau hasil foto dengan latar belakang milky way nya bagus harus rela berpose beberapa kali hahaha. Masalah yang sebenarnya bisa diatasi dengan menggunakan flash, tapi terkadang flash menjadi sesuatu yang “mewah” ketika naik gunung. Pertimbangan berat dan penggunaan yang terbatas membuat saya sering sengaja tidak membawa flash ketika mendaki gunung dan hanya mengandalkan penerangan head lamp.

Pagipun akhirnya tiba, menggantikan gelapnya malam dengan terangnya pagi. Langit merah melingkupi punggungan sebelah timur. Karena lokasi pos 3 yang tertutup punggungan jadi tidak bisa untuk melihat matahari terbit. Saya memutuskan membereskan tripod dan kamera dan kembali masuk ke dalam tenda.. meneruskan tidur barang beberapa menit.

Menikmati Pos 3 Gunung Lawu jalur Candi Cetho

Terbangun dan mendapatkan tawaran “milo apa teh bek?”. Badan terasa hangat ketika milo perlahan berpindah dari gelas ke dalam mulut.

para chef sedang menyiapkan sarapan

Rencana awal Adit dan Burhan akan naik sampai ke Gupak Menjangan dengan membawa perbekalan secukupnya dan Saya dan Marsono yang akan menjaga peralatan di pos 3. Tapi dengan pertimbangan jalur menuju ke sana yang masih cukup jauh, paling tidak sekitar 2-3 jam lagi. Dan juga cuaca sore yang masih sering hujan, akhirnya diputuskan kami semua saat ini hanya cukup sampai di pos 3. “Nanti aku temani kalau pengen naik lewat Cetho lagi” imbuh Marsono. Saya juga masih mau kok nanti balik lagi lewat Candi Cetho.

chef dan asisten

Marsono dan Burhan sudah mulai sibuk dengan persiapan menu sarapan pagi, tumis brokoli dan daging asap. Satu kotak penyimpanan berukuran medium yang berisi wortel, bawang, tomat sudah mulai berkurang.

chef Marsono

Api yang menyala dari kompor Trangia menjilati wajan yang berisi daging asap dan potongan bawang. Kembali aroma daging memenuhi sekitar, menggugah selera makan. “Wah kok aku lupa bawa garam ya?” ujar Marsono sambil membolak balik daging asap. Sesekali bubuk lada disebarkan ke daging yang berubah warna menjadi kecoklatan. Wah ndak sabar nunggu matangnya.

sarapan pagi di pos 3

Matras digelar di samping tenda, 3 bungkus mie instan yang sudah matang dibagi rata ke dalam 4 wadah. Setelah itu masing-masing menambahkan daging asap dan tumis brokoli. Makan menjadi lebih enak karena perpaduan yang harmoni antara rasa lapar, segarnya udara pegunungan dan eratnya persahabatan.

gunung-lawu-jalur-candi-cetho
sarapan ala chef Marsono

Sekitar pukul 11 akhirnya kami mulai beranjak turun. Untuk air kami hanya membawa secukupnya untuk perjalanan. Tidak lupa sampah kami kumpulkan ke dalam tas plastik dan dibawa turun. Paling tidak dengan membawa turun bekal yang kita bawa masing-masing sudah bisa mengurangi banyak masalah sampah yang ada di gunung.

Perjalanan Turun Menuju Pos 2

Perjalan turun ternyata lebih mengesankan. Karena hujan hari kemarin, tanah menjadi licin dan mudah melorot. Beberapa kali terdengar suara Adit ketika terpeleset, Aduhhhh.. Di satu kesempatan ketika Marsono masih sibuk mencari jalur yang aman, disalip Adit yang melorot ke bawah. Belum lagi kadang di jalan yang datar juga kalau tidak berhati-hati kita masih bisa terpeleset.

berjumpa gori dan si mbek

“mbek..mbekkk” suara Marsono terdengar di kejauhan, saya pikir sudah pada istirahat mungkin menunggu saya yang berjalan turun lambat. Tapi begitu di belokan saya terkaget-kaget. Ternyata beneran ada kambing !!. Beberapa orang dari basecamp tampak dengan sabar menunggu si kambing untuk melanjutkan perjalanan. Dua anjing penjaga basecamp Gori dan Chiki juga ikut dengan rombongan. Gori dengan ikatan tali di leher tampak sabar menunggu, sedangkan chiki yang bergerak bebas, berlarian naik turun. Wah ramai juga kalau ikut naik sama mereka sebenarnya.

perjalanan turun

Begitu tiba di pos 2, disambut segelas cincau diramu dengan jeruk nipis menjadi minuman yang menyegarkan. Sayang tidak bisa berlama-lama karena resiko turun hujan kalau semakin sore semakin besar.

Begitu tiba di warung di bawah pos 1, tidak lupa kembali memesan es teh. Niatnya sebenarnya makan sekalian nanti di bawah, tapi nasi goreng dengan telor mata sapi sepertinya menggoda. Dan juga sebagai penambah kalori. “nasinya separo mawon buk” Tapi ternyata begitu disajikan, nasinya penuh sepiring. “Kulo biasane yen dingge pendaki nasinya munjung-munjung mas, mesake, pendaki kan makannya banyak dingge tenogo” (saya biasanya kalau yang pesan pendaki, nasinya sampai penuh mas. Kasihan, pendaki biasanya makannya banyak untuk tenaga). Njih matur suwun buk…

Ahkir Pendakian Gunung Lawu Jalur Candi Cetho

Dan pendakian gunung lawu jalur candi cetho pun berakhir ketika kami sampai ke basecamp, mengambil kartu pengenal dan menaruh sampah di tempat yang disediakan. Suatu saat pasti kami kembali lagi, tapi dengan persiapan yang lebih bagus supaya perjalanan juga menjadi lebih berkesan. Puncak bukan merupakan tujuan akhir, memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan melatih kita untuk menjadi lebih bijak. Dan gunung tetap akan ada di sana, kapanpun nanti kita mulai merindukannya, bisa kembali lagi ke sana.

Video Perjalanan

Silakan dinikmati video pendakian gunung Lawu jalur Candi Cetho yang dibuat oleh Aditia Rahajasa, fotografer profesional yang mulai menekuni video perjalanan. Jangan lupa untuk subscribe channelnya ya.

Evaluasi Perjalanan

Dari pendakian ke gunung Lawu jalur candi Cetho kemarin saya mengambil beberapa evaluasi yang nantinya akan saya coba praktekan untuk perjalanan ke gunung berikutnya:

  • Persiapkan fisik jauh jauh hari, ini cukup penting karena memang pendakian ke gunung membutuhkan banyak aktifitas fisik.
  • Bawa peralatan memotret yang lebih efektif untuk pendakian ke gunung. Kamera DSLR Canon 6D tetap akan saya bawa dengan lensa wide dan tele karena akan digunakan ketika berada di pos atau ketika bermalam. Tapi Go Pro dan juga handphone akan lebih saya efektifkan untuk pemotretan ketika perjalanan.
  • Tongkat jalan, sangat berguna (buat saya) terutama ketika perjalanan turun, karena bisa untuk menjadi penyeimbang ketika berjalan di tempat licin.

lebih suka mendengarkan audio dibanding membaca artikel bisa melalui link di bawah

Comments

    1. anda betul, mungkin karena sudah tidak pernah lagi minum kopi bikinan sampeyan yo..
      suk tak mampir ning kopine sampeyan yen wes rodo kondusif yo

  1. Pertama kali lewat Cetho 2013 dulu, saya sama dua kawan kena badai di Cemoro Kembar. Lumayan lama, dari malam sampai sore. Bingkai tenda sampai patah. Hahahaha…

    1. sebelum jalur cetho menjadi populer seperti sekarang.. dulu pernah lewat cetho juga sekitar tahun 97-98 an, tapi tersesat nyari jalurnya hahaha

  2. Selamat pagi mas, saya kris dari Jakarta, saya dan teman ada rencana mau mendaki Gn Lawu via Cetho, boleh minta untuk data trackingnya mas (foto paling atas), semoga bisa bermanfaat.

    Terimakasih, Salam

Tinggalkan Balasan ke aryok Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *