Sekitar pukul 1 pagi, mobil yang memuat 6 orang, Dwi “Kebo”, Marsono, Windar, Adit “Negro”, Icuk dan saya, membelah kota Solo yang masih cukup ramai dengan remaja yang nongkrong malam minggu di pinggir jalan. Tujuan kami pagi ini adalah bukit Cumbri yang cukup populer belakangan ini di media sosial.

Awalnya rencana minggu pagi ini adalah ke sabana 1 di gunung Merbabu. Tapi setelah berkomunikasi cukup intens dengan petugas di Selo info yang didapat adalah setiap sore gunung Merbabu masih sering hujan lebat. Jadi daripada acara jalan-jalan minggu pagi gagal, diputuskan untuk merubah tujuan ke bukit Cumbri.

Berbekal informasi dari internet, dan bertanya di warung makan di pinggir jalan menjelang perbatasan wonogiri – ponorogo, kami pun akhirnya sampai di tempat parkir bukit Cumbri sekitar pukul 3 pagi.

Perjalanan ke atas bukit Cumbri diperkirakan memakan waktu satu jam. Jalanan yang terus menanjak tanpa bonus membuat kami berjalanan perlahan. Keringat bertetesan di tubuh tak lama kemudian. Hawa yang cukup gerah membuat kami basah kuyup dengan keringat.

Selepas pos 1, di depan kami, terlihat puncak bukit Cumbri. Sementara itu langit perlahan mulai terlihat biru menandakan sebentar lagi mentari terbit di ufuk timur.

Kami pun kembali bergegas melewati perkebunan jambu mete untuk segera bisa sampai ke puncak. Tapi ternyata setelah tanjakan selepas perkebunan jambu mete kami baru sampai di padang rumput dengan papan pengumuman pos 3. Di sebelah kanan kami masih ada tanjakan lagi yang harus kami lewati untuk tiba di puncak. Tanjakan panjang tanpa bonus yang harus segera kami daki untuk bisa menikmati mentari terbit.

Tapi tak lama kemudian kabut tebal mulai melingkupi punggungan bukit. Agak ragu apakah nanti kabut tersingkat di puncak bukit sehingga kami bisa menikmati pendaran cahaya mentari pagi. Marsono yang berada di depan dengan om Windar sudah tidak terlihat lagi, kemungkinan sudah sampai atas. Adit “Negro” yang menyusul di belakang saya terlihat sedang mengambil nafas untuk melanjutkan perjalanan. Icuk dan Dwi “Kebo” yang berada paling belakang belum terlihat, mungkin masih mendaki jalan sebelum sampai ke padang rumput.

Tak lama kemudian ketika kaki menapak di pelataran sebelum puncak, sudah disambut dengan Marsono dan beberapa teman baru dari Solo. Badan terasa panas sehingga lepas kaos yang basah kuyup ketika sampai di sana.

Tak berapa lama kemudian menyusul Adit yang tiba. “Kita tunggu di sini saja sampai kabut hilang, om Windar sudah ke atas, tapi paling juga tidak terlihat apa-apa karena tertutup kabut” ucap Marsono sembari menyeruput kopi hangat yang dibikin oleh teman-teman barunya. Setelah itu Dwi dan Icuk menyusul berkumpul dengan kami di pelataran bawah puncak. Sembari ngobrol ngalor ngidul menunggu cuaca lebih bersahabat supaya bisa mengabadikan keindahan pemandangan sekeliling dari puncak.

Sekitar pukul 7 kami pun akhirnya naik ke puncak bukit Cumbri. Pemandangan dari atas masih tertutup awan. Kami menghabiskan bekal pisang goreng dan jadah yang maknyus di mulut sembari menunggu pemandangan di depan mata tersingkap.

Loading...

Foto merupakan panorama 360, silakan diputar ke kiri kanan atas bawah untuk melihat sekeliling. Kalau ada ikon kamera berwarna biru bisa diklik untuk pindah ke lokasi lainnya

Beruntung setelah menunggu cukup lama, kabut mulai membuka, dan di depan kami terpapar pemandangan deretan pegunungan dan pemandangan alam yang lebar. Adit kemudian mengeluarkan drone nya untuk mengabadikan pemandangan Bukit Cumbri dari atas.

Bersuka citalah kami mengambadikan keindahan alam dari atas bukit Cumbri hingga akhirnya mentari yang mulai cukup panas membuat kami memutuskan untuk kembali turun.

Jangan ditiru, memang Marsono orangnya ndak bisa diam.. selalu saja bikin ide yang rada nyentrik. Salah satunya ini, naik ke batu dengan mengambil jalan yang rada susah harus manjat-manjat segala.

Lain kali mungkin kami bisa lebih beruntung mengabadikan keindahan warna warni mentari terbit dari atas bukit Cumbri.