Sebenarnya malas mau nulis pengalaman perjalanan Explore Curug Bogor kemarin… belum-belum sudah ada kejadian yang bikin mood motretnya hilang euy… Tapi siapa tahu bisa digunakan untuk pembelajaran bersama buat rekan-rekan lainnya.

Ronny mengabadikan curug cihurang

Curug Bogor - Sedang dibersihkan...

Sekitar pukul 09.30 pagi, kami sudah tiba di kawasan Gunung Bunder. Hari ini rencana kami untuk berkeliling ke beberapa curug Bogor di sekitar gunung Bunder. Air terjun pertama yang kami datangi adalah curug Cihurang. Suasana masih sepi ketika kami datang. Malah kolam bawah air terjunnya baru dibersihkan. Keliatan kalau memang curug bermain keluarga. Setelah menikmati sejenak kemudian mulai rutinitas, cari tempat, keluarkan tripod, pasang kamera. Baru beberapa jepretan, “petugas” yang tadi bersih-bersih datang mendekat, “sudah ada ijin belum, mas?” ujarnya. “heeh… ijin apa, mas? Sejak kapan ke tempat wisata mesti pakai ijin?” balasku agak keheranan. “Mas, kalau bawa kamera besar musti pake ijin,” petugas lain mulai rese ikut nimbrung selang beberapa menit kemudian. “Ijin apa bang?” balasku mantap. “Peraturannya ini Taman Nasional, jadi kalau bawa kamera besar musti pakai ijin, mas,” balasnya lagi sambil mulai pasang tampang gahar. “Oooo… paham aku, dikiranya kalau bawa kamera besar trus orang kaya, ya pak?!” ujarku dalam hati. “Setahu saya, kalau untuk kegiatan komersial memang musti pakai ijin, bang. Tapi saya baru tahu kalau cuma foto-foto biasa juga pakai ijin,” balasku sembari menghentikan kegiatan memotret. “Peraturannya begitu, mas. Saya cuma ngikuti peraturan, kalau tidak silakan ke kantor resort,” balasnya sok kuasa. “Lha saya tadi sebelum ke sini ke kantor resort ndak ada orang, mas,” balasku lagi. “Berarti belum datang petugasnya,” jawabnya ndak mau kalah. “Terus biayanya berapa untuk ijin, bang” timpa Ronny. “Dua ratus lima puluh ribu” balasnya… Alamaaakkkk!!!… Sakit deh kalau tiap hunting bawa kamera DSLR ke lokasi wisata kena 250 ribu wkwkwkwk…

“Kalau tidak mau bayar, nanti di kantor gambar-gambar di foto diharuskan dihapus!” mulai deh pakai gertakan. “Silakan dihapus, pak… Wong foto-fotonya juga nggak bagus-bagus amat,” balasku ndak mau kalah. Lagian juga baru beberapa frame, lha baru datang sudah dipalak gini hahahaha… Akhirnya terjadi debat kusir ndak berujung. “Oknum” tetap ngotot “mengikuti peraturan” yang ujung-ujungnya cuma minta uang (ini pikiran saya lho…:P), sedang saya dan ronny ngotot tidak mau bayar karena memang kita jalan-jalan sembari hunting foto, bukan mau bikin foto prewed (eaaaa….). Palingan foto diupload di facebook sama website, malah pikirku bisa buat promosi tempat-tempat wisata biar lebih dikenal orang. Tapi kalau belum-belum sudah banyak aturan dan orang-orang kurang bertanggung jawab, tentu malah bikin malas orang mau datang kan?……

Setelah cukup lama, oknum yang pertama bertanya kemudian mencoba melerai, “Ya sudah, kalau begitu bayar 60 ribu saja, mas,” mencoba memberi “jalan tengah”. “Ndak, bang… Saya ndak merasa salah kok.. Kalau dari awal ada peraturan tertulis bawa kamera besar musti pake ijin, saya ndak bakalan motret pake kamera besar, paling pake kamera poket,” balasku enteng. “Kalau begitu 30 ribu saja,” ujarnya mulai bosan juga. “Ndak bang.. Saya mendingan ndak motret aja, pulang aja dah,” balasku sembari mengemasi kamera dan tripod karena mood memotret sudah hilang semenjak digangguin. Baru kali ini motret landscape kena palak, pikirku dalam hati sambil beranjak pergi bersama Ronny….

Akhirnya, dari rencana  explore 7 curug Bogor di Gunung Bunder, kita cuma mampir ke Curug Cihurang (tempat awal yang kurang bagus… :p), Curug Ngumpet (sayang, cuma sebentar masuk sendiri ambil bawa kamera poket terus balik lagi, Ronny malah ndak ikutan masuk, udah terlanjur malas katanya… lagian gak bawa kamera poket). Di sini juga katanya kalau bawa kamera besar peraturannya harus pakai ijin, setelah ditanya-tanya, katanya biayanya sekitar 200 ribu hahahaha….:P. Tambah lagi, saya juga lupa membawa munyuk-pod untuk kamera poket S95 yang saya bawa dan tentu saja membuat tidak bisa optimal kalau mau memotret pake slow speed. Akhirnya Curug Pangeran, Curug Ngumpet 1, Curug Gentong, Curug Seribu dan terakhir Curug Cigamea pun dengan sukses saya lewati tanpa berniat sedikitpun untuk masuk dan memotret pakai kamera DSLR kesayangan.

Selepas meninggalkan Curug Cigamea, selembar spanduk terbentang di kejauhan,”Selamat Datang di Bukit Panorama”. Ahirnya motor matic pun melaju ke jalan Makadam menurun. Tak disangka, ternyata malah tersasar ke pemandian air panas…hehehe…:P. Setelah menggunakan GPS (baca: Gunakan Penduduk Setempat), didapat info kalau bukit panorama terletak tak terlalu jauh dari spanduk tadi. Meski keterangan arahnya sedikit rumit, si Penduduk memberi tahu bila didekat spanduk ada sebuah lapangan sepak bola yang dibelakang salah satu gawangnya terdapat jalan kecil, dari situ berbalik ke arah semula dan akhirnya kami menemukan jalan yang dimaksudkan.

Bukit Panorama berupa tanah lapang yang masih dibangun, tampak di salah satu sudut geliat beberapa pekerja sedang menyelesaikan sebuah bangunan. Perlahan Ronny mendekat dan tak lama kemudian terlihat obrolan akrab dengan seorang berusia paruh baya bernama pak Uyung. Beliau merupakan salah satu staf bagian pariwisata untuk koperasi veteran. “Hobi motret ya ?” ujarnya melihat kami membawa kamera. “Dari atas bukit panorama ini lebih indah kalau waktu pagi,” lanjutnya semangat sembari memperlihatkan beberapa foto jepretannya menggunakan BB. Bahkan, beliau sempat sharing beberapa fotonya melalui bluetooth ke handphone Ronny.

Ditengah obrolan mengenai beberapa curug Bogor yang semakin seru, akhirnya cerita tentang kejadian “Perijinan membawa kamera besar di sekitar Gunung Bunder” terlontar dan tak urung membuat pak Uyung terlihat cukup kaget. “Memang terkadang di sini SDM-nya masih kurang begitu bagus” ujarnya pelan. “Seharusnya kalau kita datang dan mempromosikan tempat ini, bukannya malah harus ditarik bayaran, tapi harusnya dikasih bayaran, kan kita jadi makin dikenal orang” tambahnya kemudian. Saya dan Ronny cuma manggut-manggut tanda setuju. “Coba aja kalau nanti ditanya lagi tentang ijin, bilang saja kalian sodara pak Uyung, nanti biar saya telpon orangnya,” tambah pak Uyung sambil tertawa.”hahahahaha.. Gimana, Ron? Kita balik coba hunting air terjun lagi? siapa tahu bisa ngilangin bete,” ujarku setengah meracuni Ronny yang akhirnya menciptakan keputusan akan ke Curug Cigamea setelah memuaskan diri di puncak bukit Panorama.

curug seribu nan jauh di sana

“Dari sini kalau cuaca cerah, biasanya pagi pemandangannya indah, Curug Seribu yang jauh pun akan terlihat jelas,” ucap pak Uyung d itengah perjalanan ketika mengajak kami ke salah satu puncak bukit di seberang menceritakan beberapa curug Bogor yang bisa dilihat dari atas bukit. Mengherankan, ternyata Fisik sang veteran masih terlihat cukup tangkas menaiki jalan tanah berundak menuju ke bukit seberang. Sementara saya yang masih muda malah beberapa kali tersenyum kecut sembari mengelap keringat yang menetes di wajah. Benar juga, dari bukit ini terlihat Curug Seribu di kejauhan yang sedikit terlindung diantara bukit dan pepohonan. Obrol ringan sembari ditemani angin semilir kembali mengalir ringan membersitkan segaris rasa enggan untuk beranjak.

hamparan sawah siap panen

Selepas berpamitan dengan Pak Uyung, kami kembali ke atas menuju Curug Cigamea. Tapi karena tergoda sebuah pemandangan warung makan di depan pintu masuk, kami hentikan untuk mampir sejenak dan tak lama kemudian pesanan menu nasi goreng dan sepiring nasi putih lengkap dengan mie rebus milik Ronny tersaji menjadi santapan siang itu.

Ternyata di Curug Cigamea tidak ada peraturan yang bawa kamera besar musti pakai ijin… (memang seperti itu biasanya yang saya tahu sih..:P). Tak membuang waktu lebih banyak, kami mulai menapaki jalan menurun berupa undakan dari beton yang ternyata cukup jauh. Sebenarnya, di sini terdapat 3 buah curug. Sayangnya, belum kami tahu jalur untuk menaik ke atas tempat salah satu curug, sehingga kami harus berpuas diri menikmati dua buah curug yang lain. Hari itu Curug Cigamea tidak terlalu ramai pengunjung, kami hanya bertemu dengan beberapa rombongan muda-mudi sedang mandi dan foto-foto narsis semenjak kami datang. Sempat ngobrol juga dengan salah satu penjaja jasa kamera yang ternyata sudah hampir 2 tahun mencari setitik rejeki di curug itu. Hanya berbekal kamera poket dan printer portable, ditawarkannya jasa foto narsis di bawah air terjun dan bisa langsung di print untuk dibawa pulang. (hmmm…ide nya kreatif juga nih… :D).

Lumayan banyak frame terjepret disini. Seperti inilah awal yang saya bayangkan ketika berniat jalan-jalan ke air terjun sambil hunting foto landscape menggunakan teknik slow speed. Bukannya malah dirusuhi dengan alasan ijin yang ndak jelas dan ujung-ujungnya hanya uang.”Kami memotret untuk disebarkan ke orang-orang lain kok, pak. Bukan untuk sendiri atau untuk dikomersialkan semata,” ujarku dalam benak. Untunglah tadi kami memutuskan kembali ke Curug Cigamea sehingga mood memotret kembali menyala. Biarlah nanti gambar di sekitar curug Bogor ini sendiri yang bertutur menceritakan keindahannya.

Curug Bogor - menunggu dalam diam

Curug Bogor - teman setia perjalanan

peralatan pendukung membuat perjalanan lebih menyenangkan

Curug Bogor - mengabadikan detail yang tersisa

sejenak narsis

Jarum jam di tangan telah menunjuk pukul setengah lima sore ketika kami mulai beranjak kembali ke parkiran. Namun, Mentari di ujung barat yang terlihat berada di atas siluet barisan pegunungan berselimuti kabut tipis yang membuatnya terlihat menyerupai tumpukan bukit membuat kami tak sadar menghentikan langkah dan mengkaburkan keinginan pulang. “Kereta ke jakarta paling lambat jam berapa Ron?” tanyaku. “Jam 9 malam!” jawab Ronny singkat. “Jadi ndak papa kalau sekalian nunggu matahari terbenam nih…. hahahahahaha,” ujarku yang disambut tawa renyah Ronny tanda setuju. Akhirnya tripod dan kamera terpasang sembari menikmati soft drink dingin dan kenikmatan kopi susu panas. Menunggu sang surya tenggelam menutup cerita hari ini…. yang ternyata buyar karena rintik hujan turun mulai membasahi bumi… Usai sudah explore curug Bogor kali dan kami pun beranjak untuk kembali pulang ke rumah.

Bukit berbukit tertutup kabut sore, menggoda untuk kembali berhenti

(Edited by: Wisnu Wisdantio)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *