Tubuh basah, bercampur antara keringat dan air hujan. Sekitar pukul 6 lebih kami tiba di pintu rimba. Papan penanda bertuliskan pintu rimba dengan segala aturannya seakan menjadi batas peradaban. Berdoalah sebelum mendaki, jangan menebang pohon, stop vandalisme, bawa turun sampah anda, jangan mengambil kayu panjang umur dan jangan mengotori sumber air seakan mengingatkan bahwa kita cuma pengunjung di gunung Dempo.

menembus kaki dempo

Rintik hujan semakin bertambah deras, kaos di badan sudah terasa dingin, padahal cuma berhenti sebentar untuk memotret. Di jalan tadi ada seorang pendaki yang ikut bergabung dengan rombongan kami, Yudhi, katanya sambil mengacungkan tangan memperkenalkan diri. “sendirian ?” tanyaku. “hia bang, sudah biasa naik gunung dempo sendirian kok”

Tapi ketika melewati pintu rimba, tak kulihat yudhi mengeluarkan senter nya. “ndak bawa senter kah?” tanyaku keheranan.. “ndak bawa bang” balasnya seakan wajar naik gunung ndak bawa senter. “buset.. kamu naik malam ndak bawa senter memangnya berani?” ucapku sedikit memarahi, karena bagaimanapun juga perjalanan malam di gunung, apalagi dengan kondisi jalur seperti di gunung Dempo yang tertutup seperti ini sangat riskan.

Kuminta yudhi berjalan di depanku dan di belakang marsono, supaya masih bisa mendapat cahaya dari headlamp yang aku gunakan. Jalur selepas pintu rimba masih belum terlalu ekstrim, walau memang kalau hujan deras jalurnya bakalan licin karena merupakan jalur air. Tapi semakin ke dalam jalur semakin bertambah ekstrim, beberapa kali kami harus mencari pegangan pada pohon di samping kiri kanan supaya tidak terpeleset ketika melangkahkan kaki di jalur menajak. Tak jarang juga kami harus menarik tubuh melewati batang pohon yang roboh di tengah jalur.

Tak begitu lama, sekitar 20 menit berjalan, ketika hujan yang walau tempias oleh rimbunan hutan semakin deras, Yudhi akhirnya menyerah, dia berpamitan turun. “hujan bang.. ndak bawa jas hujan juga” WTF !! naek gunung, malam hari, di musim hujan, ndak bawa senter dan ndak bawa jas hujan juga !!! ini anak mungkin karena sudah terbiasa naek jadi menyepelekan atau malah sebenarnya belum pernah naik jadi tanpa persiapan. Buset.. jangan ditiru deh.. gunung itu bukan tempat bermain. Persiapan baik peralatan maupun fisik mutlak diperlukan ketika kita melakukan perjalanan di alam. Memang terkadang alam itu indah, tapi alam juga kejam ketika kita lalai dan mengabaikannya.

Akhirnya Yudhi turun, dan marsono meminjamkan senternya. “Jangan lupa nanti dititipkan di balai, jadi waktu pulang bisa saya ambil” ucap marsono sembari menyerahkan salah satu senter koleksinya. Tapi entah lupa atau memang kurang bisa dipercaya, sampai kami pulang, senter tidak juga dititipkan di balai. Yah begitulah… terkadang niat kita untuk membantu sering kurang dihargai dengan kepercayaan.

Saya masih teringat ucapan Maman “dari pintu rimba ke pos satu sekitar satu jam… itupun kalau jalan siang bang”. Jam di tangan sudah menunjukan pukul 7 malam lebih. Tapi tanda-tanda akan segera bertemu dengan pos 1 masih belum ada. Jalur juga semakin menanjak dengan kemiringan bahkan di beberapa titik sampai 70 derajat. Tak ayal kami makin sering berakrobrat untuk melewati satu demi satu rintangan.

Yang cukup kewalahan tentunya Marsono. Setiap pak Maryono yang berada paling depan berteriak “Portal!”. Portal maksudnya batang pohon yang melintang membuat semacam penghalang. Dengan tubuh bongsor dan tas ransel 75+10l yang cukup tinggi membuat Marsono kerepotan untuk melewati portal demi portal. Bahkan terkadang posisi portal kurang begitu menyenangkan, di tanjakan dengan kontur jalan tanah tergerus air. Bahkan di portal yang entah ke berapa, Marsono yang mengira sudah melewati portal ketika berdiri ternyata ranselnya masih tersangkut di batang pohon. “Aduh” teriak tertahan Marsono. Dan keliatannya ada urat di punggung belakang yang tertarik ketika tadi ransel terbentur portal.

menembus kaki dempo

Dan perjalanan berikutnya terasa semakin menyiksa. Marsono yang biasanya paling kuat, bahkan kami menjuluki Marsono porter, berjalan tertatih dengan wajah sesekali menyeringai kesakitan. Berjalan beberapa tanjakan dan harus kembali berhenti sebentar untuk merehatkan tubuh, meletakan ransel sejenak supaya tidak terlalu menyiksa di punggung.

Tak terhitung berapa kali kami berhenti sebentar untuk sekedar merehatkan raga. “Selama kaki masih bisa melangkah, rasa sakit di punggung masih bisa ditahan” ucap Marsono ketika kami tawarkan untuk beristirahat mencari tempat untuk bermalam yang cukup lapang. Tapi memang tidak ada kemewahan tempat datar di jalur pendakian gunung Dempo ini. Kami cukup puas bisa menemukan tempat kecil untuk meletakan pantat dan tas diantara jalur tanjakan tiada akhir.

Apalagi kondisi fisik kami juga sudah mulai menurun. Perjalanan panjang dari palembang, tubuh basah kehujanan, kaki yang mulai terasa berdenyut kelelahan dan perut yang mulai terasa kosong. Beruntung sekitar pukul 8 malam kami tiba di pos 1. Puji Tuhan… kami segera mencari tempat datar yang cukup terlindung. Mendirikan bivak seadanya dari jas hujan yang diikat di batang pohon. Dan mulai mengeluarkan bekal makan malam nasi goreng yang tadi sore kami beli di warung di samping balai. Tak lupa menyalakan parafin dan beberapa ranting pohon mati untuk menghangatkan tubuh, memompa kembali semangat yang sepanjang perjalanan tergerus tanjakan.

menembus kaki dempo