Beberapa minggu yang lalu saya kebagian jalan ke beberapa lembaga yang bergerak di pendampingan komunitas masyarakat. Mulai di Jawa Tengah, Jogja hingga ke Kalimantan Barat dan terakhir ke Kalimantan Utara. Untuk beberapa medan datar seperti di persawahan dan perkebunan saya lebih memilih menggunakan sandal buaya yang selain empuk di kaki dan juga tidak khawatir basah bila harus melewati sungai maupun genangan air. Kalau dengan sepatu, terutama bila menggunakan sepatu yang tidak tahan air setiap kali menyeberangi sungai harus memilih antara berbasah2an atau dengan berat hati melepas sepatunya dan kemudian nyeker melintas sungai.

Tapi perjalanan terakhir di Malinau, Kalimantan Utara kemarin membuat saya berubah pikiran. Daerah pedalaman Kalimantan yang untuk buat masyarakat setempat mereka anggap sebagai “kebun belakang” rumah mereka ternyata membawa mimpi buruk buat buaya saya ini. Selama 6 hari saya berada di desa Adiu, satu jam ditempuh dari Malinau (dengan catatan jalan kering tidak habis hujan, atau dengan menyewa mobil dobel gardan yang biasa di pake karyawan tambang). Kalau lagi sial hujan mengguyur jalan tanah yang dibuka perusahaan ini bakalan menjadi kubangan lumpur yang bakalan menelan keempat ban mobil yang melintasinya.

Singkat cerita, siang itu rencana kami mengunjungi salah satu “kebun” di belakang kampung Adiu. Hujan sejak dari kemarin malam mengubah lapangan yang kami lintasi menjadi lahan jebakan tanah liat yang menempel di alas sandal/sepatu dan mengikuti kemana kami melangkah. Sudah bawa badan saja berat apalagi ditempeli tanah liat yang membuat sandal saya berasa sepatu hak 10 cm saja. Setelah sampai di ujung lapangan, kami tertegun melihat lahan turunan ke lembah yang nyari 75 derajat dengan tanah yang gembur. “biasanya kalau tidak hujan bisa lewat sini mas, tapi mungkin karena hujan semalam jadi susah dilewati” ucap Pak Markus menenangkan kami. “kita lewat jalan memutar saja dari belakang rumah pak adat” sambungnya. Ya sudah kami balik arah lagi. Rute diganti lewat jalan setapak di belakang rumah pak kepala adat.

kebun belakang dayak punan

Setelah menyusuri jalan setapak kamipun akhirnya masuk ke kebun dayak punan untuk mencari beberapa jenis umbi pakis untuk didokumentasikan. Jangan salah.. yang disebut kebun di sini bukan seperti kebun di jawa yang terbuka dan ditanami singkong maupn tanaman rendah lainnya. kebun yang dimaksud bisa dibilang hutan lebat malahan. Tertutup oleh rimbunan dedaunan. Jalan setapak yang kami lewati naek turun mengikuti kontur pegunungan dengan dihiasi jebakan sulur pohon yang membuat saya beberapa kali harus melangkah mundur lagi melepaskan diri darinya. Belum lagi kalau tidak berhati-hati mencari pegangan kita bisa salah memegang batang pohon berduri, niatnya mencari pegangan malah kena tusuk duri kan ndak lucu kan. Belum lagi bonus pacet yang senang menempel di tubuh kita dan meminta sedekah darah hihiihih

salah satu spesies bunga bangkai

rimbunan pohon di kebun mereka

Setelah berjalan memutar beberapa saat kami sampai di rimbunan pisang. Jalan setapak sudah tidak ada, kami jalan mengikuti jejak pak Markus yang setiap saat mengayungkan mandau nya membuka jalur. Naik sebentar, kemudian turun lagi… naik lagi.. turun lagi.. Sampai akhirnya tiba di satu saat dimana sandal saya mulai merasa letih menapak pada jalan yang tertutup daun-daun ini… dan sluurrrtttttt.. sayapun meluncur bebas dengan tangan kanan memegang kamera dan pantat sebagai papan seluncurnya.. baru berjalan beberapa langkah dan untuk kedua kalinya kembali saya harus merasakan basahnya permukaan tanah ini.

menyusuri sungai kecil

Alhasil selama perjalanan ke kebun ini saya 4x jatuh gara-gara sandal yang ternyata sangat licin ketika dibawa masuk ke hutan. Pengalaman yang menyakitkan tapi pelajaran yang berharga. Jadi ketika besok paginya ditawari lagi untuk ikut ke ladang mereka di bukit seberang, saya dalam hati berguman, besok musti pake sepatu… tidak lagi bawa buaya buat masuk hutan.. kapoookkk dehhhh

sepatu hitec yang disebut pak markus sebagai sepatu aspal :D