Langit di pos 2 malam itu sangat cerah. Kerlip bintang menerangi langit yang tak ber rembulan. Milky way nampak terbit dari balik siluet bukit yang menaungi tenda kami di sekitar pos 2. Kamera yang terpasang di tripod saya atur di mode manual dengan continues shot untuk menangkap pergerakan milky way. Sayang tidak lebih dari 70 jepretan kabut mulai turun, membuat lensa menjadi tertutup uap air. Saya juga menyempatkan untuk membuat Panorama 360 Gunung Lawu di pos 2. Dan tak lama kemudian rintik air mulai turun membasahi permukaan bumi.. “Gunung punya cuaca sendiri” motto beberapa teman hunting foto pemandangan untuk menyikapi cuaca di alam yang sering cepat berubah. Karena dari pengalaman kami, memotret di gunung, terkadang saat ini cerah tapi dalam waktu tidak terlalu lama kemudian kabut tebal datang dan bahkan terkadang hujan lebat menghalangi aktivitas memotret kami.

Perjalanan Mendokumentasikan View 360 Gunung Lawu - milky way

Kami pun mulai masuk ke dalam tenda, merehatkan tubuh karena cuaca di luar juga tidak memungkinkan kami untuk memotret atau ngobrol ceria bertemankan kopi. Pilihan terbaik kalau cuaca hujan di gunung memang masuk ke dalam kehangatan sleeping bag dan larut dalam mimpi..

star trail lawu

zzzzz

Pagi terbangun diiringi riuh nyanyian burung di luar tenda. Kulirik jam di tangan menunjukan pukul setengah enam kurang. Aku tidak terlalu berharap dapat sunrise karena memang posisi pos 2 ini menghadap ke selatan dan di timur kami terhalang dinding bukit. Tapi tetap konsisten donk, ngakunya fotografer landscape kok pagi-pagi masih njingkrung di dalam tenda kan.. Akhirnya kutarik keluar tubuh ini dari kehangatan sleeping bag dan empuknya kasur tiup. Kuraih kamera yang berada di dalam tas dan tripod yang terletak di sebelahnya. Di luar langit biru memayungi punggungan gunung Lawu. Bau tanah basah sisa hujan semalam terasa segar memenuhi rongga hidung. Di depan sana, barisan bukit Telogo Dlinggo, tempat biasa teman-teman pencinta alam menggelar rangkaian pendidikan dasar, mulai terpapar mentari pagi. Dan semburat oranye sedikit terlihat di antara punggungan bukit di timur tenda kami. Selamat pagi semesta, semoga cuaca hari ini tetap cerah dan kami bisa sampai ke puncak dengan selamat tanpa arah suatu apapun.

Tidak banyak posisi yang bisa kami maksimalkan untuk mengabadikan pagi di pos 2 ini karena memang lokasinya tertutup. Mau turun ke bawah dimana ada tempat agak lapang, tapi kok malas juga nanti naek kembali ke tenda karena agak cukup jauh hehehe. Setelah menemukan tempat agak datar kemudian mengatur tripod dan kamera. Tak lupa merubah setingan exposure yang malam sebelumnya digunakan untuk memotret milky way. Tapi kelupaan belum mengembalikan setingan white balance nya.. hasilnya foto yang diabadikan berwarna kebiruaan. Hancur deh pokoknya.. Padang rumput yang berwarna kuning di bukit sebelah terlihat berwarna hijau kebiruan, barisan perbukitan di depan sana yang harusnya mulai mendapat sinar mentari pagi, terlihat kusam kebiruaan . Bahkan awan yang terpapar mentari pun hanya berwarna putih kusam. Kalau memotret menggunakan file jpg mungkin foto seperti ini sudah masuk ke sortiran reject, ndak kepake lagi.

JPG vs RAW

Tapi inilah salah satu keflexibelan memotret menggunakan format Raw. Hanya dengan beberapa sentuhan di tombol pengaturan white balance, warna alami yang seharusnya kita rekam akan kembali. Dan file fotonya siap bersanding dengan foto-foto cakep lain dari perjalanan ke gunung lawu kemarin.

Perjalanan Mendokumentasikan Panorama 360 Gunung Lawu

Setelah itu kembali rutinitas untuk mengabadikan pos 2 dalam format panorama 360 untuk dokumentasi Panorama 360 Gunung Lawu. Atur pano head, setingan manual exposure, potret memutar. Di depan tenda Marsono sudah mulai menyiapkan coklat hangat yang dicampur energen untuk kalori di pagi hari. Kami mengecek perbekalanan makanan yang kami bawa kali ini.. “kita bawa bekal salah nih.. kebanyakan mie instan” ucapku sembari tersenyum kecut membayangkan nasi pecel warung mbok Yem di Hargo Dalem yang ternyata tidak buka.

Di pos dua ini kami berpapasan dengan rombongan yang terdiri dari beberapa orang dari beberapa daerah. Rombongan ber 8 ini agak “berbeda” dengan yang biasa kami jumpai ketika melakukan pendakian. Mereka tidak membawa tas ransel besar di punggung, hanya tas kecil berisi perlengkapan seadanya. Bahkan yang paling belakang membawa karung goni besar yang awalnya saya belum tahu berisi apa. karung goni tersebut dibawa dengan cara memanggul di bahu kanan.

Mas Gunawan, salah satu dari rombongan bahkan punya keterbatasan, tidak bisa melihat. Bayangkan saya naik gunung dengan kondisi mata normal saja sering terantuk batu atau terpeleset karena menginjak di posisi yang kurang tepat. Disepanjang perjalanan mas Gunawan berjalan dengan cara memegangi badan salah seorang rekan yang berjalan di depannya. Satu langkah demi satu langkah berjalan menapaki tangga berundak yang terkadang terantuk kayu yang melintang di jalan.

Perjalanan Mendokumentasikan Panorama 360 Gunung Lawu

“Awas mas, kayu” ucap salah seorang temannya, dan kaki mas Gunawan kemudian menjajaki area di depannya mencari pijakan kayu yang diucapkan temannya. Salut.. saya jadi malu karena nafas ngos-ngosan saya sepertinya kedengeran oleh indera mas Gunawan yang langsung terkekeh ketika saya mencoba menyalip rombongan mereka yang baru beristirahat di jalan.

Dan ketika kami berkumpul lagi di Pos 3, kami diajak mereka untuk bergabung “sekedar” menikmati makan pagi yang kesiangan dengan menu nasi, ikan asin, lalapan daun-daunan yang diambil di perjalanan, dan timun serta sambal yang maknyos pedasnya. o iya.. di pos 3 ini baru ketahuan ternyata karung goni yang mereka bawa berisi ketel dan dandang, untuk memasak air dan bikin nasi hahahaha..

Perjalanan Mendokumentasikan Panorama 360 Gunung Lawu

Kami sempat agak cukup lama ngobrol dengan mereka, tak terasa banyak pandangan baru yang kami dapatkan dari pertemuan dengan mereka. Hal-hal bijak yang tampaknya mereka dapatkan dari “laku sederhana” yang berpasrah dengan alam. “Kami tadi malam ingin bikin kopi, tapi ndak punya air, tapi namanya kalau pasrah, alam akan memberi jalannya.. dan tak lama kemudian hujan di sekitar tempat kami, cukup untuk membuat kopi malam kemarin” ucap salah satu orang yang berasal dari kediri. “Pak, gimana caranya biar ndak takut sama hantu? ” tanyaku ke mereka… “halah mas.. sampeyan ikut sama pak kiai itu lho” sambil menunjuk salah satu orang yang dari tadi nampaknya sedikit bicara. “sampeyan melok 3 sasi rak bar kui ra wedi setan meneh” (Anda ikut 3 bulan bersama dia, habis itu bakalan tidak takut hantu lagi – terjemahan bahasa jawa). “hahahahaha” semua yang ada di pos 3 ketawa bebarengan.

Sebelum berangkat tak lupa kembali melakuan ritual pendokumentasian Panorama 360 Gunung Lawu di pos 3. Atur pano head, setingan manual exposure, potret memutar.

Perjalanan masih cukup panjang dari pos 3 menuju ke puncak. Jalur dari pos 3 menuju pos 4 ini merupakan jalur tangga batu yang menanjak dan menguras tenaga. Tujuan kami hari ini mengisi perbekalan air di Sendang Drajat. Dan kalau beruntung mengisi perut di warung yang mudah-mudahan masih buka siang nanti ketika kami sampai.

<pendokumentasian Panorama 360 Gunung Lawu bagian 1>

<pendokumentasian Panorama 360 Gunung Lawu bagian 3>

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *